PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) terus melakukan percepatan tranformasi digital untuk mendukung produk dan layanan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih aman. Bank BRI juga memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang diberi nama BRI Brain sebagai “otak” dalam mengambil keputusan bisnis yang tepat dan presisi untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan BRI.
Senior Vice President of Digital Banking Development & Operation Division Bank BRI, Muhammad Ghifary menerangkan bahwa BRI Brain merupakan inisiatif pengembangan teknologi kecerdasan artifisial di Bank BRI untuk mendukung produk dan layanan BRI sehingga akan jauh lebih baik ke depan.
“Karakteristik yang kita harapkan dengan kehadiran teknologi kecerdasan artifisial adalah optimalisasi yang sifatnya enhancement dan otomasi. Jadi bagaimana kita bisa mengoptimalkan atau memperbaiki layanan-layanan produk yang mungkin belum sepenuhnya disentuh artificial intelligence agar menjadi lebih baik lagi,” kata Ghifary di Jakarta, belum lama ini.
Lebih lanjut Ghifary mengungkapkan bahwa BRI sejak akhir 2017 telah memulai beberapa inisiatif yang berhubungan dengan AI yang terus berkembang hingga saat ini. BRI Brain memiliki 4 fokus utama yaitu costumer profiling, merchant assessment, credit underwriting, dan fraud analytics. “Keempat hal tersebut menjadi fokus utama yang akan terus kita perkuat sehingga dari sisi costumer experience dan growth ke arah risk management akan semakin diperkuat di BRI,” imbuhnya.
Untuk credit underwriting, BRI mencoba memanfaatkan machine learning untuk membuat berbagai model yang lebih robust (kokoh) dan akurat. Misalnya dengan memanfaatkan data-data historical dari nasabah untuk mendapatkan credit scoring yang menggambarkan kelayakan kredit dari calon nasabah yang akan diarahkan ke produk tertentu terutama product landing.
Menurut Ghifary ada beberapa model yang tersedia, tergantung produk yang ditawarkan ke nasabah. Misalnya, produk digital landing Ceria, pinjaman digital untuk pembiayaan transaksi melalui e-commerce atau online travel site. Proses pengajuannya tidak melibatkan human decision maker dan mengandalkan model yang kuat untuk memberikan semacam score yang menunjukkan bahwa nasabah tersebut layak diberikan pinjaman beserta limitnya.
Sementara untuk costumer profiling, lanjutnya, terkait bagaimana menawarkan produk-produk pada nasabah yang sifatnya untuk upscaling atau konseling. Misalnya, ada satu nasabah sudah memiliki produk BRI seperti tabungan. Kedepannya dari machine learning yang kita implementasikan akan memberikan rekomendasi produk berikutnya yang cocok untuk nasabah tersebut misalnya produk pinjaman atau investasi.
“Machine learning akan memberikan semacam rekomendasi produk untuk tenaga pemasar yang kemudian memberikan follow up di lapangan. Beberapa hal bersifat otomatisasi tersebut akan mempermudah para tenaga pemasar internal maupun costumer/end user untuk membantu secara kognitif bahwa ini akan menjadi semacam layanan yang teraugmentasi,” terang Ghifary yang memperoleh gelar Sarjana Teknik dan Master Teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Dalam menggunakan machine learning, pihaknya mencoba mengoptimalkan keberadaan big data yang jumlahnya besar. Dari segi kualitas data, juga akan terus dilakukan upaya untuk perbaikan-perbaikan.
Melalui teknologi AI dan machine learning, BRI juga terus berupaya mengurangi risiko finansial akibat digital fraud terutama yang terjadi di kanal-kanal digital atau omni channel seperti Anjungan Tunai Mandiri (ATM), mobile banking dan sebagainya.
“Kita melakukan analisis terhadap banyak behavior (perilaku), terutama dari sisi transaksi atau aktivitas melalui channel-channel untuk mendeteksi anomali. Kita memanfaatkan AI dan machine learning untuk mendeteksi beberapa anomali agar bisa di-follow up. Hal itu menjadi alert system buat para operasional di internal bahwa ada kejadian yang terindikasi fraud atau terdeteksi ada pola-pola fraud,” terang Ghifary yang memperoleh gelar PhD di bidang machine learning dari Victoria University of Wellington, New Zealand.
Modus operandi digital fraud berkembang begitu cepat. Hal itu menjadi tantangan bagi BRI untuk melakukan updating terhadap teknologi atau model AI secara cepat. “Jadi modus-modus terbaru akan selalu ter-capture. Kita menyediakan solusi yang akan membantu bagian operasional untuk follow up terhadap fraud tadi. Diharapkan operasional akan jauh lebih excellence dan risiko finansial akan lebih minimum,” tambahnya.
Dalam mengembangkan perangkat pendeteksi fraud, BRI memiliki cukup banyak talenta digital mulai dari data scientist, data engineer dan software engineer yang berhubungan dengan teknologi AI. Solusi AI yang disediakan akan menjadi tools untuk bagian operasional sehingga bisa bekeja lebih efisien dan akurat.
“Ke depannya talenta ini menjadi salah satu fokus yang terus kita perkuat baik dari sisi jumlah maupun kualitas agar makin banyak yang bisa mengembangkan produk-produk terkait AI atau machine learning. Kita terus perkuat talenta-talenta yang inhouse atau membuka opsi untuk kolabarasi atau kerjasama dengan pihak eksternal untuk bisa ikut memikirkan problem-problem yang ada,” tutur Ghifary yang pernah berkarir di industri visual effect untuk film.
Memasuki era digital, BRI menghadirkan layanan asisten virtual bernama SABRINA (Smart BRI New Assistant) yang diluncurkan pada Januari 2018. Layanan ini berupa chatbot berbasis AI yang menjawab pertanyaan dan komplain nasabah melalui media Facebook Messenger dan WhatsApp. Semua pertanyaan tentang BRI dapat ditanyakan pada SABRINA mulai dari info seputar Bank BRI, lokasi ATM, hingga produk BRI.
“Ke depannya, kita tidak hanya berhenti di textchat namun dikembangkan ke conversation AI yang bisa memproses teks maupun audio. Visi ke depan bagaimana human agent dan AI agent bisa saling berkolaborasi untuk bisa melayani nasabah dengan pelayanan yang jauh lebih efisien,” tutur Ghifary yang pernah menjadi AI Researcher di Weta Digital Ltd, New Zealand.
Keberadaan AI agent ini akan terus dioptimalkan seperti layaknya costumer service manusia yang bisa diperbantukan untuk menangani costumer inquiry dan komplain yang berulang. “Pekerjaan yang berulang, request atau pertanyaan berulang bisa di-handle oleh AI agent. Human agent bisa ditugaskan untuk hal-hal lain yang tidak berulang, misalnya fokus pada marketing atau hal-hal yang tidak bisa ditangani AI atau machine learning,” kata Ghifary.
Tantangan Pemanfaatan AI
Portofolio bisnis BRI utamanya menyasar segmen UMKM atau small enterprise, serta segmen consumer atau corporate. Portofolio bisnis ini akan terus diperkuat dengan keberadaan AI atau machine learning agar semakin berkualitas layanannya.
Ghifary yang bergabung dengan BRI sejak Januari 2021 ini mencontohkan kemampuan AI untuk melakukan akuisisi atau rekomendasi untuk nasabah eksisting dari segmen small medium industry (SMI). Misalnya kita rekomendasikan untuk menjadi agen BriLink agar produktif.
“Itu salah satu contoh kecil bahwa itu bisa memberikan semacam insight atau rekomendasi kepada internal untuk melakukan penggambilan keputusan dan follow up yang lebih tepat sehingga itu akan lebih meningkatkan efisiensi dari sisi marketingnya,” imbuh Ghifary yang pernah menjabat sebagai Head of AI Research di Bukalapak.
Menurut Ghifary, tantangan pengembangan AI dari sisi BRI adalah bagaimana mencari use case yang pas di awal. Hal itu karena spektrum BRI luas sekali dari sisi bisnis maupun operasionalnya mulai dari front office, middle office, dan back office semua memiliki pilihan atau hal-hal yang bisa ditingkatkan atau diotomatisasi melalui pemanfaatan AI.
Selain itu, data yang begitu besar harus dioptimalkan dengan memilih use case yang impact full namun bisa kita deliver dalam waktu yang lebih singkat. “Jadi bagaimana kita bisa menghasilkan quick win, bahwa ternyata solusi AI ini bisa diimplementasikan dan ada valuenya. Jadi maindset-nya lebih pada applied AI bukan research AI, bagaimana AI benar-benar bisa diadopsi secara skala besar di BRI,” tuturnya.
Selain memilik use case, menurut Ghifary, hal yang penting adalah bagaimana memonitor keberhasilan bahwa solusi AI akan memberikan dampak yang signifikan. Selain itu, terkait kolaborasi dan juga maindset bahwa jika AI sudah menjadi produk kita bisa membangun awareness pada berbagai pihak, terutama yang non teknis, di bisnis atau di lapangan. Pemanfaatan AI ini bisa membantu banyak hal seperti aspek-aspek yang terkait dengan operasional di lapangan, membantu pekerja di lapangan untuk mengambil keputusan dan segala macam.
“Biasanya risikonya ketika kita sudah pilih use case tetapi kita tidak berhasil, nanti bisa terkubur atau dianggap tidak memberikan value lebih. Jadi kaitannya lebih kepada apllied AI yang tantangannya untuk memecahkan masalah di bisnis,” pungkasnya.
Boks ——————————————————————————————————————————
Stranas AI Dorong Percepatan Transformasi Digital
Pandemi Covid-19 telah mendorong berbagai pihak termasuk BRI untuk melakukan percepatan transformasi digital. Ghifary menyebutkan bahwa dibalik pandemi ada blessing in disguise untuk percepatan tranformasi digital. Sebab, transaksi atau aktivitas melalui mobile banking jauh lebih eksponensial perkembangannya dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Pada akhirnya mau tidak mau, kita percepat pengembangan terkait digitalisasi data, platform, dan teknologi baru untuk bisa memberikan pelayanan yang lebih baik. Hal ini karena behavior yang berubah ke arah channel digital yang semakin aktif dengan berkurangnya interaksi secara fisik,” terang Ghifary.
Semakin banyaknya interaksi digital akan menyebabkan meningkatnya ketersediaan data. Kondisi itu, terang Ghifary, akan memperkaya sumber data atau diversitas data karena AI atau machine learning saat ini oil-nya data.
Pengembangan dan pemanfaatan teknologi kecerdasan artifisial juga mendapat angin segar dengan kehadiran Strategi Nasional (Stranas) Kecerdasan Artifisial. Ghifary menerangkan, Stranas Kecerdasan Artifisial memiliki misi bagaimana bangsa Indonesia bisa terakselerasi menjadi negara maju di tahun 2045 dengan kehadiran AI. Arah hilirnya, bagaimana kita bisa membuat produk inovatif berbasis AI untuk menghadirkan solusi yang bisa menawarkan banyak kemajuan bagi masyarakat indonseia.
Salah satu output Stranas Kecerdasan Artifisial adalah menyinergikan berbagai aktor quadhelix yaitu akademisi, komunitas, industri, pemerintah, dan media bisa saling bersinergi agar bisa menghasilkan banyak inovasi yang lebih tepat guna di lapangan. Melalui kolaborasi quadhelix yang lebih sinergis, semua pihak bisa berkontribusi dari masing-masing prespektif dengan prinsip yang value driven.
Ghifary mencontohkan, dari sisi akademisi bisa menjalankan riset yang fundamental berkesinambungan sehingga menghasilkan produk yang inovatif serta talenta yang lebih banyak dan lebih baik. “Saat ini kita masih kekurangan digital talent, terutama di bidang AI. Kita membayangkan nanti mulai dari talenta, data, infrastruktur hingga produk inovasi akan terjalin dengan kehadiran stanas AI yang tepat sasaran,” tuturnya.
Ghifary berharap melalui kehadiran Stranas Kecerdasan Artifisial, kita bisa bersama-sama memikirkan di berbagai bidang prioritas yang sudah ditentukan. Yang paling penting adalah sinergi yang berkesinambungan. “Bisa jadi nanti ada perubahan yang terjadi di dunia nyata. Inisiatif yang kita pikir di awal penting menjadi kurang penting atau sebaliknya, sesuatu yang kita pandang biasa saja nanti ke depan manjadi hal penting,” pungkas Ghifary.