Budiawan – Konsultan Human Capital, KAM INSTITUTE
Tahun 1944, tiga belas pria kulit hitam berdiri dalam diam di bawah bayang-bayang diskriminasi rasial. Di tengah Perang Dunia II, mereka dipilih untuk mengikuti pelatihan perwira Angkatan Laut AS—sebuah hal yang nyaris mustahil pada masa itu. Mereka dikenal sebagai *The Golden Thirteen*.
Namun, mereka tidak diberi tempat yang setara. Mereka dilatih secara terpisah, diawasi dengan ketat, dan secara sistemik didesain untuk gagal. Tapi mereka memilih jalan yang berbeda.
Alih-alih saling bersaing, mereka *membangun ruang belajar kolektif*. Mereka belajar bersama diam-diam di malam hari, saling mengoreksi dan menyemangati. Mereka menciptakan ekosistem kecil di mana satu kegagalan adalah kegagalan bersama, dan satu keberhasilan adalah kemenangan bersama.
Di sinilah letak kekuatannya: *kecerdasan kolektif*, bukan semata kepintaran individu.
*Kilas Balik ke Masa Kini*
Praktik ini kini dikenal luas dalam dunia manajemen modern. Riset seperti *Project Aristotle oleh Google* menunjukkan bahwa kinerja tim terbaik bukan berasal dari IQ tertinggi, tetapi dari budaya *psychological safety*—rasa aman untuk berbicara, salah, dan belajar.
Organisasi-organisasi seperti Pixar dan IDEO juga memperkuat pentingnya *kolaborasi lintas fungsi*, di mana ide dan keputusan lahir dari interaksi terbuka, bukan hierarki semata.
Dan dalam buku *“Hidden Potential”* (Adam Grant, 2023), ditegaskan bahwa potensi manusia tidak bisa dilihat hanya dari masa lalu, tapi dari *lintasan belajar*—bagaimana seseorang bertumbuh dalam lingkungan yang mendukung dan saling percaya.
*Refleksi untuk Kita Semua*
Dari kisah *The Golden Thirteen*, kita belajar bahwa organisasi atau tim yang hebat *tidak selalu dibentuk oleh individu unggul*, tapi oleh cara mereka saling memperlakukan satu sama lain dalam proses pertumbuhan.
Mungkin di lingkungan kita hari ini masih ada yang merasa seperti “pelaut yang dipisahkan jalurnya”:
– Tim kerja yang terkotak-kotak,
– Budaya saling mengawasi daripada mendukung,
– Sistem pengembangan talenta yang tidak memberi ruang tumbuh secara adil.
Saya percaya, perubahan bisa dimulai dari hal kecil—dari menciptakan ruang diskusi yang aman, memetakan potensi secara lebih bijak, hingga mendorong tumbuhnya semangat belajar bersama.
Sebagai konsultan yang banyak mendampingi tim dan organisasi dalam transformasi SDM dan budaya kerja, saya melihat *kekuatan kolektif* ini bukan hanya penting, tapi mendesak.
Dan seringkali, perubahan itu bermula bukan dari kebijakan besar, tapi dari keberanian untuk bertanya:
*“Apa yang bisa kita ubah hari ini, agar kita bisa tumbuh bersama esok hari?”*
Jika kisah ini menggugah Anda, mungkin itu pertanda bahwa sudah waktunya menata ulang cara kita melihat potensi dan kolaborasi di organisasi.
Mari terus berbagi cerita dan praktik baik. Siapa tahu, langkah kecil yang kita ambil hari ini bisa membuka jalan yang lebih luas bagi banyak orang.