Indonesia Fintech Society (IFSOC) menyambut positif reformasi di sektor keuangan dengan bergulirnya Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK). Reformasi sektor keuangan diperlukan untuk meningkatkan kapasitas klaster fintech yang semakin berkontribusi pada perekonomian nasional.
Rudiantara, Ketua Steering Committee IFSOC, memaparkan bahwa diperlukan instrumen hukum yang relevan untuk memenuhi kebutuhan sektor keuangan saat ini, salah satunya merespon perkembangan teknologi. Semakin melebarnya jarak antara inklusi dan literasi keuangan menjadi tantangan dalam pengembangan sektor keuangan kedepan. Indeks inklusi keuangan di Indonesia juga masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan rendah, dan rata-rata dunia.
Di sisi lain, jumlah penyelenggara fintech di Indonesia terus bertambah. Manfaat fintech juga semakin meluas. Sebagai contoh dalam memperluas akses kredit dilihat dari tingkat penyaluran fintech lending yang telah mencapai Rp 436,12 triliun dengan nilai outstanding pinjaman Rp 47,23 triliun hingga Agustus 2022.
“Khususnya di sektor fintech, RUU PPSK dibutuhkan sebagai payung hukum pengembangan dan penguatan sektor keuangan digital yang lebih adaptif. RUU PPSK harus ditujukan untuk memperkecil jurang antara tingkat inklusi dan literasi keuangan yang saat ini semakin melebar, serta diarahkan untuk memperkuat aspek perlindungan konsumen,” tegas mantan Menkominfo ini.
Terkait ruang lingkup Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) dalam RUU PPSK, Steering Committee IFSOC, Tirta Segara, menjelaskan pentingnya pengaturan berbasis aktivitas dalam untuk menghilangkan sekat-sekat regulasi, dan menciptakan ekosistem fintech yang integratif.
“Rezim pengaturan secara kelembagaan kurang fleksibel dengan perkembangan fintech yang saat ini berkembang secara pesat. Pengaturan berbasis aktivitas dibutuhkan agar proses perizinan ITSK juga dapat agile mengikuti perkembangan industri sektor keuangan dan mengedepankan prinsip same risk, same regulation, dan hal ini membantu tercapainya keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen. RUU PPSK sebaiknya diarahkan untuk menciptakan ekosistem yang dapat meningkatkan kolaborasi dengan menghadirkan interkonektivitas dalam seluruh sektor keuangan. Sebagai contoh dalam hal pendalaman peran fintech dalam aktivitas penyaluran bantuan sosial,” papar Tirta Segara.
Mantan Anggota Dewan Komisioner OJK ini juga menyoroti perlunya kejelasan definisi dan pengaturan aset kripto di dalam RUU PPSK. Menurutnya, RUU PPSK diharapkan dapat memperluas cakupan aset kripto menjadi aset digital dan difokuskan pada pemanfaatannya yang terbatas pada sektor keuangan. RUU PPSK juga sebaiknya dapat memberikan batasan-batasan yang jelas antara aset digital yang dikategorikan dalam sektor keuangan dan non-keuangan untuk memperjelas kerangka koordinasi dan pengawasan kedepannya. Dalam mendefinisikan aset digital, dapat dipertimbangkan dengan risk-based approach guna melindungi konsumen dengan memberikan informasi risiko yang ada dalam aset digital tertentu.
Menyoroti pentingnya aspek kelembagaan dalam RUU PPSK, Steering Committee IFSOC, Agustinus Prasetyantoko menjelaskan bahwa pengelolaan fintech kedepan akan sangat berhubungan dengan penguatan otoritas-otoritas dan tata kelola di sektor keuangan.
“Dalam rangka pengembangan ITSK, independensi otoritas sektor keuangan, meliputi BI, OJK, dan LPS, harus dijamin di RUU PPSK untuk menjaga kepercayaan seluruh pemangku kepentingan. Diperlukan pengaturan yang tegas untuk menghindari hal-hal yang dapat mengganggu kinerja dan profesionalisme otoritas sektor keuangan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. RUU PPSK juga harus memastikan prinsip check and balance berjalan dengan baik di antara eksekutif dan legislatif dalam proses pemilihan dan penentuan pimpinan otoritas sektor keuangan”, ujar Prasetyantoko menutup konferensi pers yang dilaksanakan virtual tersebut.