Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2015-2021, Jamalul Izza mengatakan bahwa percepatan transformasi digital dimulai saat pandemi Covid-19. Saat pandemi, masyarakat dipaksa untuk bertransformasi karena kondisinya serba online. “Karena pandemi Covid-19, mau tidak mau kita harus bertransformasi, kalau tidak mau kita akan tertinggal. Tidak hanya di Indonesia, tapi seluruh dunia. Suka tidak suka kita memang harus bertransformasi,” kata Jamalul di Jakarta pada Rabu (21/8/2024).
Tantangan transformasi digital, menurutnya, sangat besar. Perusahaan harus menyiapkan berbagai hal termasuk sumber daya manusia (SDM). “Orang harus dipaksa karena kondisi, otomatis mereka bertransformasi dari sisi SDM-nya,” imbuh pria kelahiran Banda Aceh, 14 April 1981 ini.
Perusahaan pun dihadapkan pada pilihan, merekrut SDM baru untuk lebih mempercepat atau melatih SDM yang sudah ada. Banyak perusahaan yang memilih tidak merekrut karyawan baru karena kondisi ekonomi yang tidak menentu dan tidak pernah tahu kapan kembali normal. Menurut Jamalul, jika ingin lebih cepat dalam tranformasi digital harus ada talenta-talenta baru yang menguasai transformasi digital.
Tantangan lainnya adalah generasi yang berbeda-beda, dari generasi lama hingga Gen Z. Mau tidak mau, semua generasi harus bisa bertransformasi dan belajar. “Alhamdulillah, Indonesia bisa melewati situasi pandemi dan bisa melakukan transformasi digital secara cepat,” tutur Jamalul Izza yang pernah menempuh pendidikan S1 Teknik Elektro di Universitas Muhammadiyah Malang.
Lebih lanjut Jamalul menjelaskan bahwa pembatasan sosial saat pandemi membuat orang kreatif melakukan ekonomi digital untuk proses bisnis. Orang juga lebih berani mengambil tantangan, dibandingkan harus ada aturan dari pemerintah agar kita harus transformasi digital itu sangat lama.
Proses transformasi terus berjalan sampai sekarang. Di dunia Pendidikan, anak-anak sudah terbiasa belajar secara digital. Pertemuan atau meeting bisa dilakukan via online yang bisa menghemat anggaran. Interaksi fisik mulai berkurang karena banyak layanan mulai berbasis elektronik, misalnya saat pengurusan izin.
Di sisi lain, banyaknya orang yang belajar atau bekerja online, berpengaruh pada dunia properti dan perkantoran. Perusahaan tidak perlu menyewa kantor dengan space yang luas karena karyawan tidak perlu sering ke kantor.
Dunia perbankan beralih dari layanan analog ke digital. Bahkan ada beberapa bank yang mulai menutup cabang dan gerai anjungan tunai mandiri (ATM) karena banyak transaksi bisa dilakukan secara cashless. “Sekarang lebih baik ketinggalan dompet daripada ketinggalan handphone karena semua data ada di handphone. Sekarang gadget sangat penting, semua data ada disini mulai dari perbankan dan sebagainya,” ujar Jamalul yang memiliki hobi turing mobil ini.
Menurut Jamalul, transformasi digital sangat luas mulai dari data pribadi, internet of things (IoT) hingga artificial intelligence (AI). Agar transformasi digital bisa berjalan lebih efektif perlu didukung beberapa hal, misalnya pengamanan data. Meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) sudah disahkan, Jamalul menyampaikan adanya tarik ulur terkait lembaga yang menjalankan pemantauan keamanan data tersebut apakah dijalankan oleh pemerintah atau independent.
Masalah tersebut, harus segera dituntaskan sebab semakin banyak kasus kebocoran data. Misalnya Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 yang diduga diserang ransomware. “Pemerintah harus siap, tidak hanya membuat undang undang tapi bagaimana menjalankan undang undang tersebut. Pengelompokan data dalam undang-undang tersebut sangat jelas. Ada data strategis dan data non strategis, terus mau diapain sesudah itu. Pemerintah harus siap secara teknis. Mereka harus memiliki tools yang jelas agar data tersebut aman,” tuturnya.
Penerapan IoT dan AI
Saat ini sudah banyak sektor yang mulai menerapkan internet of things (IoT), terutama perusahaan yang transaksi teknologinya cukup besar. Jamalul mencontohkan penerapan IoT di jalan tol melalui e-toll. IoT juga sudah diterapkan di sektor pertanian melalui pemasangan sensor untuk mengukur suhu maupun pemupukan.
Sektor lain juga mulai menerapkan IoT seperti sektor peternakan untuk mengukur umur ternak atau pemberian pakan ternak. Begitu juga untuk sektor cuaca dan kebencanaan. “IoT memang diperlukan untuk mempermudah kerja manusia. Di sektor pertanian misalnya, tidak mungkin kita nongkrong 24 jam melihat perkembangan padi. Kita butuh sensor untuk deteksi tersebut,” terangnya.
Penerapan IoT ini biasanya akan meningkat menjadi teknologi AI yang memberikan banyak kemudahan. Jamalul mencontohkan, untuk membuat presentasi cukup memasukkan judulnya bisa langsung keluar hasilnya. Membuat sebuah lagu bisa cepat tidak sampai lima menit.
Meskipun begitu, menurut Jamalul, pemerintah harus segera membuat aturan mengenai AI agar tidak terjadi penyalagunaan. Misalnya ada yang mengubah wajah seseorang. Jika tidak diatur, akan banyak pemalsuan menggunakan AI. “Karena itu, pemerintah harus serius membuat cara untuk pengamanan terhadap AI. Jangan sampai terjadi sebuah hal terhadap kerahasiaan negara dan lain-lain menggunakan AI,” tuturnya.
Jamalul menjelaskan bahwa teknologi IoT digunakan untuk pengumpulan data untuk disimpan. Sementara kepintaran AI adalah mengumpulkan data dan membuat sebuah algoritma untuk mengelola data tersebut. “Teknologi AI memang akan mempermudah pekerjaan seperti saat membuat presentasi. Banyak bahan yang bisa kita cari lewat AI. Tapi pemanfaatan AI harus ada etikanya. Misalnya ada wajah kita tapi badan orang lain, kan tidak beretika. masyarakat harus punya tempat untuk melakukan complain,” tuturnya.
Ke depan, setelah AI tidak menutup kemungkinan adanya robot untuk mengganti beberapa pekerjaan manusia. Beberapa perusahaan sudah mulai menganti karyawan dengan robot, terutama perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan sosial, misalnya perbankan.
Pentingnya Literasi Digital
Pemerintah terus mendorong literasi digital agar bisa mendidik masyarakat bagaimana menggunakan internet secara baik dan sehat. Literasi digital harus ditanamkan agar masyarakat menggunakan internet untuk hal-hal yang positif. Tanpa adanya literasi digital, orang bisa menggunakan internet untuk melakukan kejahatan.
Jamalul mencontohkan, kejahatan-kejahatan yang muncul di dunia internet misalnya penipuan, berita hoaks, dan sebagainya. “Kita harus mengajarkan pada masyarakat bagaimana cara mengatasi penipuan atau mengenali bahwa sebuah berita benar atau bukan,” jelasnya.
Menurut Jamalul, internet merupakan media yang memindahkan dunia nyata ke ruang siber. Apa yang ada dan terjadi di dunia nyata dipindahkan ke dunia siber. “Cuma istilahnya berbeda-beda. Kalau di dunia nyata namanya ‘maling’, di dunia siber disebut ‘hacker’. Literasi digital mengajari kita bagaimana mengantisipasi agar tidak kemalingan, bagaimana cara mengamankan data, dan menyaring berita-berita hoaks,” ujar Jamalul.
“Karena itu, literasi digital harus digencarkan. Bagaimana kita tanamkan berita-berita positif. Bagaimana menggunakan internet untuk hal-hal yang bermanfaat atau menghasilkan pendapatan buat masyarakat,” imbuhnya.
Pemerataan Digital
Jamalul menyampaikan bahwa pertumbuhan pengguna internet di Indonesia tiap tahun semakin naik. Tantangannya adalah bagaimana menyediakan infrastruktur karena letak geografis Indonesia adalah kepulauan, perairan dan pegunungan. “Bayangkan cost yang harus dikeluarkan swasta atau BUMN untuk menggelar kabel dari satu pulau ke pulau lain. Pasti berbeda dibandingkan menggelar kabel di daratan. Ujung-ujungnya biaya internet jadi mahal,” ujarnya.
Jamalul menyampaikan bahwa sebenarnya menyalurkan internet tidak ribet dan simpel. Analoginya seperti kehidupan nyata dipindahkan ke dunia siber. Contohnya saat mengirim barang dari jawa ke Papua harus melewati laut dan sebagainya sehingga cost-nya naik. Bukan barangnya yang mahal, tapi biaya transportasinya yang menjadi mahal. “Sama dengan internet, membangun kabel laut juga tidak murah. Pemerintah memang sudah membangun Palapa Ring, tapi hanya sampai di pinggir sebuah pulau. Dari pinggir pulau ke kota belum siap, sehingga pihak swasta harus menarik ke sana,” terangnya.
Bicara internet mahal, menurutnya, relatif karena tergantung daerahnya. Misalnya, data internet ada yang Rp 30 ribu untuk 14 giga termasuk sudah murah. Di luar negeri harga data internet lebih mahal. Kecepatan internet juga tergantung dari kondisi geografis sebuah negara. Jika ada indeks pengukuran kecepatan internet harus jelas dari mana ke mana. Contohnya, gateway international hub ada di singapura, jika mengukurnya di wilayah Singapura pasti internetnya cepat.
Membangun infrastruktur juga tidak murah sehingga industri memikirkan berapa lama bisa balik modal. Misalnya, membangun tower di kampung yang ada di sebuah gunung, biayanya tidak murah. “Pemerintah dan swasta tidak bisa berjalan sendiri, harus jalan bareng. Pemerintah harus menjadi regulator jangan jadi operator. Cuma sudah salah kaprah, pemerintah juga jadi operator. Makanya industrinya jadi berjalan lambat,” tutur Jamalul.
“Pemerintah tidak bisa melakukannya sendiri, harus ada kolaborasi antara industri dan pemerintah. Pemerintah mengerjakan apa, industri mengerjakan apa. Jadi tidak saling menunggu,” imbuhnya.
Sebagai Ketua Umum Yayasan Internet Indonesia Raya (YII), Jamalul mencontohkan bahwa YII pernah menjalankan program Internet untuk Desa bekerjasama dengan Kementerian Desa dan Bumdes untuk pemasangan infrastruktur internet di desa-desa. Saat pandemi Covid-19 pemasangan Internet untuk Desa lumayan banyak. “Itu yang bisa kita lakukan, paling tidak kita sama-sama membantu pemerintah. Kami berharap pemerintah bisa membantu industri,” tuturnya.
Jamalul juga berharap adanya perlakuan yang sama antara industri dalam negeri dengan investor luar yang masuk. Keberadaan Starlink misalnya yang menyediakan internet dengan harga lebih murah. “Untuk daerah-daerah terpencil dan pegunungan yang selama ini belum ada akses internet itu sangat bagus. Tapi industri merasakan bisnisnya akan terganggu. Itu kan tidak bisa dicegah masuknya Starlink. Paling tidak ada aturan cara mainnya, sehingga Starlink bisa ada tapi industri tetap tumbuh,” ungkapnya.
Jamalul mencontohkan, ojek pangkalan yang harus bersaing dengan ojek online. Begitu juga dengan kehadiran Starlink. “Kita harus kreatif agar tidak terbunuh, paling nggak kita bisa Kerjasama dengan Starlink. Kita berharap pemerintah membuka kemudahan dan memberikan keringanan agar industri bisa bekerjasama dengan Starlink,” ungkapnya. Lalu insentif apa yang diharapkan industri pemerintah? Jamalul mengatakan bahwa Industri mengharapkan perlakuan yang sama, jangan memberi karpet merah pada investor asing.
Menurutnya, insentif yang diperlukan sebenarnya simple. Misalnya pemerintah harus mendukung pembangunan infrastruktur. Pemerintah sudah membangun Palapa Ring tapi masih di pinggir, sementara di tengahnya masih blackhole. “Terus ada keringanan bagi teman-teman untuk memakai Palapa Ring dengan cost yang murah. Jangan sampai kita teriak internet di Indonesia mahal, tapi operator yang menjalankan palapa ring menaruh angka yang mahal,” pungkasnya.