Untuk memperkuat halal life style di Indonesia, Wakil Presiden Republik Indonesia selaku Ketua Harian Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), K.H. Ma’ruf Amin, meluncurkan Master Plan Industri Halal Indonesia (MPIHI) 2023-2029, pada acara pembukaan Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2023, Kamis, 26 Oktober 2023, di Jakarta Convention Center (JCC).
MPIHI 2023-2029 mengusung tagline “Industri Halal untuk Ekonomi Berkelanjutan”, sesuai dengan perkembangan kondisi dunia dan arah transformasi ekonomi Indonesia, sebagai bagian dari partisipasi global di masa depan, untuk mencapai visi “Menjadikan Indonesia sebagai Pusat Industri Halal Dunia”.
Arah dan tujuan MPIHI 2023-2029 adalah menyelaraskan amanat rencana pembangunan nasional yang terdapat pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), untuk menunjang pencapaian visi negara Indonesia Emas di tahun 2045. Dengan masuknya pengembangan industri halal pada rencana pembangunan nasional tersebut, industri halal Indonesia diharapkan akan semakin tumbuh lebih baik, serta memperkuat posisi Indonesia di pasar global.
Senada dengan Wakil Presiden Republik Indonesia K.H. Maruf Amin, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) telah menyusun Strategi Pengembangan Industri Halal Nasional. Beberapa strategi yang dilakukan diantaranya penguatan regulasi dan kebijakan pengembangan ekonomi syariah dan industri halal, peningkatan riset industri halal, meningkatkan adopsi teknologi, meningkatkan preferensi halal melalui social engineering, serta menciptakan UMKM berkualitas unggul berstandar internasional.
Direktur Industri Produk Halal KNEKS Afdhal Aliasar mengatakan bahwa melalui strategi nasional pengembangan industri halal, KNEKS mendorong terwujudnya ekosistem industri halal yang mampu mendorong kapasitas pelaku industri untuk menghasilkan kualitas produk yang baik dan memenuhi tren permintaan masyarakat Indonesia.
“Kita bisa lihat masyarakat Indonesia yang lebih religius mendorong munculnya tren gaya hidup halal, seperti muslim traveler. Hal ini menjadi peluang besar bagi pelaku bisnis haji dan umrah,” lanjut Afdhal.
Menyinggung produk halal makanan dan minuman di Indonesia, sesuai ketetuan yang berlaku bahwa sertifikasi halal makanan dan minuman harus sudah dilaksanakan pada 17 Oktober 2024. Pasal 4 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang telah dilebur ke dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja menegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Ketentuan tersebut berlaku efektif lima tahun setelah UU Nomor 33 Tahun 2014 diundangkan sejak 17 Oktober 2014, tepatnya 17 Oktober 2019. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal kemudian mengatur tahapan sertifikasi halal. Tahap pertama, kewajiban ini diberlakukan kepada produk makanan dan minuman, serta produk jasa yang terkait dengan keduanya. Prosesnya akan berlangsung dari 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024.
Target 10 juta pelaku usaha menekankan pentingnya percepatan sertifikasi halal. Sebab, pada tahun 2024, bersamaan dengan ketentuan wajib sertifikasi halal bagi industri makanan dan minuman, Indonesia juga harus mampu mewujudkan ekosistem halal. Hal ini selaras dengan cita-cita Presiden Joko Widodo, yang menginginkan Indonesia menjadi pusat industri halal dunia pada 2024.
Penanggung Jawab Tim Monitoring dan Evaluasi UU Cipta Kerja di Kantor Sekretariat Presiden (KSP), Edy Priyono menyebut, pada 2022, pemerintah menargetkan setidaknya 25.000 usaha Mikro dan Kecil mendapatkan sertifikat halal. “Target tersebut merupakan langkah awal untuk memenuhi target besar yaitu sertifikasi halal bagi 10 juta pelaku UMKM. Kita tidak bisa lagi bekerja dengan cara normal, mengingat target-target yang dicanangkan dalam pemberdayaan industri halal, termasuk target sertifikasi halal, merupakan target yang cukup menantang dan bisa jadi tidak tercapai jika tidak disiapkan dari
sekarang,” kata Edy.
Salah satu aspek yang perlu didorong untuk mewujudkan ekosistem halal, yakni percepatan proses sertifikasi halal untuk Usaha Mikro dan Kecil. Hal ini, diamanatkan UU Cipta Kerja dan PP 39/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Kalau melihat pelaku usaha yang sudah terdaftar di BPJPH dalam rentang waktu antara 17 Oktober 2019 dan 4 Juni 2022, berdasarkan skala usaha adalah sebagai berikut: skala mikro 33.296 pendaftaran, skala kecil 5.802 pendaftaran, skala menengah 3.935 pendaftaran, dan skala besar 5.471 pendaftaran.
Sementara berdasarkan data pelaku usaha yang dikeluarkan Kemenkop UKM pada tahun 2019 per skala usaha adalah skala mikro 63.955.369, skala kecil 193.959, skala menengah 44.728, dan skala besar 5.550. Berdasarkan proporsi maka unit usaha dengan skala mikro 99,62%, skala kecil 0,30%, skala menengah 0,06% dan skala besar 0,01%.
Sementara itu, LPPOM MUI sebagai Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang sudah beroperasi lebih dari 33 tahun, menyajikan data hingga tahun 2021, pihaknya telah melakukan sertifikasi halal terhadap 8.333 UMK. Sedangkan pada tahun 2022 sampai bulan Juni, LPPOM MUI telah melakukan sertifikasi halal bagi UMK sebanyak 2.310 pelaku usaha.
Berdasarkan data GAPMMI jumlah pelaku usaha pangan yang menjadi anggota di asosiasi tersebut ada sebanyak 1,6 juta unit usaha. Biasanya pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi mempunyai tingkat kesadaran yang lebih tinggi dalam mengikuti proses sertifikasi halal karena menyadari manfaat dan konsekuensi dengan atau tanpa sertifikat halal. Faktanya, pelaku usaha pangan di luar keanggotaan GAPMMI lebih banyak lagi. Karena keanggotaan di GAPMMI mempunyai hak dan kewajiban termasuk iuran keanggotaan yang tentu tidak
semua “mau” dan “mampu” memenuhi persyaratan tersebut.
Direktur Halal Partnership and Audit Service LPPOM MUI, Muslich, belum lama ini di Jakarta, mengatakan, untuk mencapai target setifikasi halal pelaku UMK di akhir masa tenggat tahun depan, adalah sebuah tantangan yang tidak mudah. ”Pertama, ini merupakan tugas kita semua beramai-ramai untuk menangani yang mikro ini, karena sebagian yang mikro kecil ini kesadarannya (untuk sertifikasi halal) itu masih harus kita pupuk terus menerus. Kita harus melakukan pendampingan untuk membantu proses pembuatan sertifikatnya,” kata Muslich.
Muslich menambahkan, pihaknya selama ini membuat banyak agenda guna membantu UMK untuk sertifikasi hala. Misalnya memberikan program penjelasan sertifikasi halal secara rutin dengan jadwalnya yang mudah diakses. Kemudian, pihaknya juga terbuka bagi mereka yang ingin berdiskusi mengenai sertifikasi halal. Selain itu, pihaknya juga aktif mencarikan sponsor bagi UMK yang hendak melakukan sertifikasi.
“Jadi sertifikasi halal ini memang kita perlu dorong ramai-ramai (secara bersama-sama). Kita juga membantu menghabiskan slot untuk jalur self declare tahun ini dari BPJPH yang menyiapkan sebanyak satu juta. Kita bahu membahu untuk bisa memenuhi slot itu. Pengalaman tahun lalu dari 350 sekian ribu bisa terpenuhi, maka tahun ini (2023-red) kita juga membantu menyiapkan UMK agar proses sertifikasinya lancar dan bisa selesai menghabiskan slot yang satu juta itu,” jelasnya.
“Kita semua harus bersama-sama bergotong royong untuk tugas ini, tidak bisa hanya satu dua pihak saja, karena memang targetnya sangat besar yang harus kita kejar dan penuhi,” demikian tutup Muslich.
Senada dengan Muslich, Wakil Ketua Bidang Kerjasama Luar Negeri GAPMMI, Lena Prawitra mengungkapkan, sertifikasi halal adalah sangat penting bagi industri pangan olahan di Indonesia. “Karena di Indonesia bisa kita lihat ada 87% populasi Indonesia beragama Islam. Selain itu, ke depannya masyarakat atau konsumen pangan Indonesia memang akan lebih mengharapkan produk pangan yang fungsional, yang bisa memberikan nilai tambah terhadap kesehatan, lebih bervariasi dan tentunya halal untuk konsumen muslim,” jelas Lena.
Lena menambahkan, industri pangan olahan di Indonesia memainkan peranan penting terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Menurutnya, industri pangan olahan juga harus selalu comply terhadap semua regulasi, termasuk regulasi mengenai halal.
“Untuk konsumen Muslim, halal ini memang sudah menjadi suatu kewajiban, way of life. Bagi non muslim pun halal sudah dianggap representasi dari suatu produk yang sehat dan juga green, sehingga semakin banyak konsumen non muslim yang senang mengonsumsi produk halal,” imbuhnya.
Pertanyaan besar untuk pemangku kepentingan. Jika berbagai pihak telah mempersiapkan kesiapan halal food sebagai life style di tengah masyarakat, namun target 10 juta pelaku usaha tidak memenuhi untuk disertifikasi pada tahun depan, apakah ada perpajangan waktu bagi pelaku UMKM untuk disertifikasi? (Faizan Arfan D)