Oleh: Budiawan, KAM Institute
Suatu pagi di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Ibu Tatik—pemilik warung kecil sejak 1998—memulai harinya dengan menata jajaran mie instan, rokok, dan sabun cuci yang dikemas ulang dalam plastik kecil.
“Yang penting cepat laku, meskipun untungnya cuma seratus-dua ratus perak,” ujarnya sambil melayani pelanggan yang membeli satu sachet kopi dan sebatang rokok secara eceran.
Di tengah pesatnya ekspansi ritel modern dan maraknya ekonomi digital, sektor perdagangan tradisional seperti milik Ibu Tatik justru masih menjadi denyut utama ekonomi mikro Indonesia.
Menurut data Kementerian Perdagangan RI (2023), lebih dari 60% transaksi ritel nasional masih dilakukan melalui saluran tradisional, termasuk pasar, warung, dan toko kelontong. Ini bukan angka kecil. Di balik kesederhanaannya, trade tradisional menjadi sistem distribusi akar rumput yang menjangkau hingga pelosok negeri, tempat minimarket sekalipun belum tentu hadir.
Segmentasi Sub-sektor Trade Tradisional
Agar dapat memahami kekuatan sektor ini, kita perlu melihat siapa saja pemain utamanya. Ekosistem trade tradisional terdiri dari beberapa lapisan yang saling menopang, mulai dari grosir hingga pedagang kaki lima.
Grosir besar adalah tulang punggung utama. Mereka membeli barang dalam jumlah besar langsung dari pabrik atau distributor, lalu menjual kembali ke semi-grosir atau toko-toko di wilayah yang lebih kecil. Beroperasi dari gudang besar di kota-kota niaga seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, mereka menjaga stabilitas pasokan dalam skala masif.
Semi-grosir hadir sebagai jembatan antara grosir besar dan ritel kecil. Mereka menjual dalam kuantitas menengah, sering kali di tingkat kecamatan atau pasar kota kecil. Semi-grosir memahami dinamika lokal dan fleksibel dalam sistem pembayaran—termasuk pembayaran tempo bagi toko kelontong atau warung yang masih kesulitan arus kas.
Toko kelontong dan warung adalah wajah paling familiar dari sektor ini. Mereka beroperasi di tengah-tengah permukiman, menjual kebutuhan pokok dalam jumlah kecil, dan seringkali menjadi sumber utama belanja harian bagi masyarakat.
Sementara itu, pedagang kaki lima menambah warna sistem ini dengan mobilitas tinggi—menjual makanan, minuman, atau barang-barang kebutuhan lain di titik-titik keramaian.Mereka semua—dari gudang besar hingga gerobak kaki lima—membentuk rantai distribusi yang kompleks namun efektif, bergerak tanpa sistem digital canggih, namun dengan kecepatan dan adaptasi yang luar biasa.
Peran Distribusi dan Jaringan
Apa yang membuat sistem distribusi tradisional ini begitu tahan banting? Jawabannya terletak pada jaringan kepercayaan yang telah terbangun puluhan tahun, hubungan sosial yang erat, serta fleksibilitas struktural yang tinggi.
Di banyak wilayah Indonesia, hubungan antara pemasok, pedagang, dan pelanggan bersifat personal. Sistem pembayaran pun tak jarang berdasarkan kepercayaan. Warung bisa memperoleh barang dari semi-grosir tanpa uang muka, sementara pelanggan bisa berbelanja “bon” untuk dibayar nanti. Sistem ini, meski informal, menciptakan cashflow yang lincah dan memungkinkan kelangsungan hidup ekonomi rakyat.
Kedekatan emosional dan geografis dengan konsumen juga menjadi keunggulan yang tidak bisa ditiru oleh ritel modern. Warung yang dikelola oleh tetangga sendiri menciptakan loyalitas sosial.
Dalam survei Nielsen (2022), disebutkan bahwa warung tradisional tetap menjadi kanal utama untuk lebih dari 70% pembelian kebutuhan harian masyarakat kelas menengah ke bawah.
Ditambah lagi, sektor ini mengandalkan kolaborasi horizontal. Warung bisa membeli dari semi-grosir lokal, berbagi informasi stok antar pedagang, atau menyesuaikan produk dengan tren konsumen setempat. Semua berlangsung secara organik, cepat, dan nyaris tanpa birokrasi.
Isu Margin dan Volume: Paradoks Mikro Ekonomi
Namun sistem ini tidak tanpa tantangan. Margin keuntungan pedagang tradisional sangat sempit. Toko kelontong dan warung biasanya hanya mengambil keuntungan 5–10% dari harga pokok barang. Sementara konsumen mereka, yang kebanyakan berasal dari segmen pendapatan menengah ke bawah, sangat sensitif terhadap kenaikan harga.
Sebagai contoh, saat harga beras naik tajam pada akhir 2023, banyak warung memilih untuk menyerap kenaikan harga demi mempertahankan pelanggan tetap. Mereka mengandalkan perputaran barang yang cepat agar modal bisa diputar kembali. Dalam banyak kasus, warung menjual dalam kemasan kecil—mulai dari minyak goreng 250 ml hingga sachet deterjen—agar tetap terjangkau.
Mereka juga menghadapi risiko ganda: fluktuasi harga dari pemasok, serta tekanan dari ritel modern dan platform digital yang menawarkan harga promosi dan sistem keanggotaan. Namun, dalam keterbatasan itulah mereka menunjukkan kreativitas luar biasa. Misalnya, warung di pinggiran Tangerang menjual kopi dan rokok via WhatsApp ke pelanggan tetap dengan sistem antar, atau toko kelontong di Jogja yang bekerja sama dengan aplikasi pembayaran digital lokal untuk menerima e-wallet.
Refleksi dan Arah ke Depan
Sudah saatnya sektor ini tidak lagi hanya dilihat sebagai pelengkap, tetapi sebagai tulang punggung distribusi nasional yang perlu didukung dan diintegrasikan dalam kebijakan ekonomi yang lebih inklusif. Kita—baik sebagai profesional, pengambil kebijakan, maupun pelaku bisnis—perlu memahami kekuatan organik mereka: jaringan sosial, adaptasi lokal, dan daya tahan ekonomi mikro.
Kolaborasi strategis dengan platform digital, layanan fintech, dan program pemberdayaan UMKM dapat menjadi jembatan untuk mentransformasi sektor ini tanpa kehilangan jati dirinya. Inisiatif seperti digitalisasi pencatatan transaksi, akses kredit mikro berbasis reputasi warung, atau integrasi sistem supply chain lokal bisa menjadi lompatan besar. Namun, intervensi itu harus dilakukan dengan empati dan pendekatan partisipatif, agar benar-benar menyatu dengan kultur dan ritme kerja mereka.
Call to Action
Apa pengalaman Anda berinteraksi atau membangun bisnis bersama jaringan pedagang tradisional? Saya tertarik mendengar ceritanya—karena setiap kisah mereka adalah potret nyata ekonomi rakyat yang sesungguhnya. Mari kita saling belajar, berbagi, dan merancang masa depan distribusi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Referensi:
- Badan Pusat Statistik (2023). Indikator Sosial Ekonomi Indonesia.
- Kementerian Perdagangan RI (2023). Outlook Perdagangan Nasional.
- NielsenIQ (2022). Traditional Trade Resilience in Southeast Asia.
- Tirto.id (2023). “Di Balik Warung yang Bertahan: Ekonomi Mikro dan Rantai Pasok Sosial.”
- Katadata (2023). Perilaku Belanja Konsumen Kelas Menengah.