Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan No. 168-PUU-XXI-2023 yang mengubah beberapa pasal dalam kluster ketenagakerjaan yang tercantum dalam Undang-Undang Cipta Kerja No. 6 tahun 2023 (UU Cipta Kerja). Salah satu perubahan yang cukup menjadi perhatian para pemberi kerja (pengusaha/perusahaan) dan pekerja/buruh/Serikat Pekerja adalah terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
Lalu hal-hal apa saja yang berubah dengan ketentuan PKWT tersebut dalam UU Cipta Kerja.
Pasal 56
Pasal 56 UU Cipta Kerja setelah Putusan MK adalah sebagai berikut:
- Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu;
- Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:
- jangka waktu; atau
- selesainya suatu pekerjaan tertentu.
- Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun termasuk jika terdapat perpanjangan;
- Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Perubahan adalah pada ayat 3 sebagaimana tercantum di atas.
PKWT merupakan alternatif perjanjian kerja yang dapat dibuat dan ditandatangani oleh dan antara pemberi kerja dan pekerja dengan syarat-syarat tertentu. Pada prinsipnya PKWT hanya dapat diterapkan pada salah satu dari dua keadaan saja sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat 2. Hal ini menunjukkan bahwa secara hukum PKWT dapat ditandatangani untuk keadaan atau jenis pekerjaan yang bersifat sementara.
Sebelum adanya Putusan MK, jika PKWT didasarkan atas “selesainya suatu pekerjaan tertentu” maka periode berakhirnya PKWT berdasarkan Perjanjian Kerja. Hal ini dapat diartikan bahwa PKWT dapat mengatur berakhirnya suatu PKWT bergantung pada pekerjaan selesai yang mana dapat saja periode PKWT melampaui periode 5 (lima) tahun.
Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) mengatur lebih lanjut terkait dengan PKWT yang didasarkan atas “selesainya suatu pekerjaan tertentu” yaitu PKWT yang dibuat untuk: (i) pekerjaan yang sekali selesai; atau (ii) pekerjaan yang sementara sifatnya. Dengan adanya perubahan Pasal 56 ayat 3 maka PP 35/2021 tunduk pada perubahan tersebut sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah apakah suatu PKWT yang didasarkan atas “selesainya suatu pekerjaan tertentu” dapat dibuat langsung dengan periode 5 (lima) tahun atau dapatkah suatu PKWT dibuat dengan beberapa kali perpanjangan (tanpa batasan)?
Apabila mengacu Pasal 56 ayat 3 di atas, suatu PKWT dapat saja dibuat langsung dengan jangka waktu 5 (lima) tahun. Namun jika para pihak sepakat PKWT dapat dibuat dan ditandatangani dalam beberapa kali perpanjangan mengingat misalnya pekerjaan yang diatur dalam PKWT terkait belum selesai atau mungkin keahlian dari pekerja yang bersangkutan masih dibutuhkan dalam pekerjaan yang sedang berlangsung. Beberapa kali perpanjangan PKWT tentunya hanya diperbolehkan dengan total jangka waktu 5 (lima) tahun untuk satu PKWT terlepas apakah pekerjaan sudah selesai atau belum.
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, pemberi kerja perlu membuat rencana dengan matang apabila bermaksud membuat PKWT atas dasar “selesainya suatu pekerjaan tertentu” karena saat ini jangka waktu PKWT hanya dibatasi sampai dengan 5 (lima) tahun. Pelanggaran terhadap hal ini, maka status pekerja PKWT otomatis berubah menjadi PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) atau pekerja tetap.
Bagaimana dengan PKWT atas “selesainya suatu pekerjaan tertentu” yang saat ini berlangsung dan masih mengacu pada Pasal 56 ayat 3 sebelum adanya Putusan MK yang artinya PKWT akan berakhir apabila pekerjaan telah selesai?
Tentunya PKWT tersebut harus segera disesuaikan mengikuti perubahan Pasal 56 ayat 3 walaupun pada praktiknya hal ini dapat menimbulkan kendala karena mungkin pekerjaan/proyek yang saat ini sedang berjalan ternyata selesai lebih dari 5 (lima) tahun dan hal ini pun telah disepakati oleh perusahaan dan pekerja yang bersangkutan. Solusi singkat yang mungkin dapat dilakukan adalah melakukan kesepakatan ulang dengan pekerja khususnya perihal kapan PKWT tersebut akan berakhir dengan tetap mempertahankan status pekerja sebagai pekerja PKWT. Kesepakatan ini dapat dilakukan dengan berlandaskan pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu asas kebebasan berkontrak yang perlu didasarkan dengan itikad baik dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara musyawarah mufakat. Pemberi kerja sebagaimana diatur dalam UU Cipta Kerja tetap wajib membayar hak-hak pekerja PKWT apabila PKWT berakhir yaitu pembayaran uang kompensasi yang diatur dalam Pasal 61A UU Cipta Kerja.
Pasal 57
Pasal 57 UU Cipta Kerja setelah Putusan MK adalah sebagai berikut:
- Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin;
- Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Sebelum Putusan MK Pasal 57 ayat 1 berbunyi: Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.
Dapat dilihat adanya perubahan posisi kata “harus” dalam Pasal 57 ayat 1 saat ini dimana kata “harus” diletakkan sebelum kalimat “dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin’. Terlihat MK dalam putusannya menegaskan kembali kewajiban pembuatan PKWT dalam bentuk tertulis, menggunakan bahasa Indonesia dengan huruf latin sehingga lebih memberikan kepastian hukum perihal formalitas pembuatan PKWT yang wajib dipatuhi walaupun ketentuan awal dalam Pasal 57 ayat 1 sudah cukup jelas adanya kewajiban pembuatan PKWT memenuhi tiga elemen tersebut.
PKWT dalam bentuk tertulis akan mempermudah dalam pembuktian bagi para pihak jika terjadi perselisihan hubungan industrial contohnya kejelasan mengenai jenis pekerjaan yang akan diperjanjikan dalam PKWT apakah pekerjaan tersebut bersifat sementara sesuai dengan syarat yang diatur dalam ketentuan dalam PKWT atau tata cara perhitungan uang kompensasi yang diterima oleh pekerja setelah PKWT berakhir.
Kemudian keharusan penggunaan bahasa Indonesia juga sesuai dengan Undang-Undang No. 24 tahun 2009 yaitu Pasal 31 Pasal 31 mengatur bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan WNI.
Terlepas adanya persyaratan formalitas yang telah diterangkan di atas, saat ini masih menyisakan pertanyaan yang belum pernah terjawab secara tuntas yaitu mengenai konsekuensi hukum yang timbul apabila syarat formalitas tersebut tidak terpenuhi. Pasal 57 ayat 3 dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 sebelum ayat 3 dihapus oleh UU Cipta Kerja mencantumkan secara jelas jika PKWT dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan ayat 1 dinyatakan sebagai PKWTT. Interpretasi terhadap ayat 3 saat itu adalah jika PKWT dibuat tidak tertulis, tidak dalam bahasa Indonesia dan bahasa latin, maka status pekerja menjadi PKWTT. Interpretasi ini dipahami juga oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
Dengan demikian apakah pelanggaran Pasal 57 ayat 1 tidak akan menimbulkan akibat hukum apapun mengingat Pasal 57 ayat 3 sudah dihapus? Apabila jawabannya iya, maka penegasan dalam Pasal 57 ayat 1 pasca Putusan MK bisa menciptakan dua interpretasi hukum yang berbeda yakni ada pihak yang berargumen pelanggaran Pasal 57 ayat 1 tidak akan mengubah status pekerja PKWT menjadi PKWTT namun ada pihak lain yang beranggapan pelanggaran ini secara otomatis membuat status pekerja menjadi PKWTT. Menilik tujuan perubahan Pasal 57 ayat 1 melalui Putusan MK seharusnya anggapan kedua yang berlaku dan nampaknya Kementerian Ketenagakerjaan juga memiliki pemahaman ini.
Pembahasan mengenai PKWT selalu membuka ruang diskusi karena ketentuan-ketentuannya yang seringkali menimbulkan multi interpretasi sedangkan perubahan kegiatan-kegiatan usaha dan kebutuhan akan adanya pekerja PKWT terus berjalan bahkan berkembang lebih maju daripada perkembangan hukum itu sendiri. Sehingga diperlukan ketentuan hukum yang lebih jelas, mudah dimengerti dan fleksibel dengan tetap memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi pekerja dan pemberi kerja.
Lia Alizia, S.H – Advokat, Praktisi Hukum