BRIN melalui Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri (PR PDN), Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat (OR TKPEKM) bekerja sama dengan Perhimpunan Periset Indonesia (PPI) dan President University menyelenggarakan diskusi dalam kemasan seminar nasional untuk memperoleh pandangan, saran, dan masukan bagi penataan daerah di Indonesia ke depan. Hasilnya nanti merupakan sebuah kebijakan (Policy Brief) yang akan disampaikan kepada MPR RI, DPR RI, DPD RI, dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 31 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa untuk pelaksanaan desentralisasi dilakukan penataan daerah. Penataan daerah terdiri atas pembentukan daerah dan penyesuaian daerah, dilakukan berdasarkan pertimbangan kepentingan strategis nasional.
Kemudian pada Pasal 32, disebutkan pembentukan daerah tersebut berupa pemekaran daerah dan penggabungan daerah. Pemekaran daerah itu sendiri bisa berupa pemecahan daerah provinsi atau kabupaten/ kota dan penggabungan bagian daerah dari daerah yang bersanding dalam satu daerah provinsi atau lebih menjadi satu daerah baru.
Pembentukan daerah berupa pemekaran sudah dilakukan sejak Indonesia merdeka. Namun, baru menjadi perhatian dan semakin banyak dilakukan sejak ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan berlanjut pada saat berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam kurun waktu 1999-2004, terbentuk 148 daerah otonom, dengan rincian usulan 112 usulan berasal dari inisiatif pemerintah, dan 36 usulan berasal dari inisiatif DPR RI. Selanjutnya, dalam kurun waktu 2007-2014 terbentuk 75 daerah otonom, di mana 5 usulan berasal dari pemerintah, dan 70 usulan berasal dari DPR RI.
Pada 2021, terbentuk 4 daerah otonom baru di Papua, dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Kepala PR PDN BRIN Mardyanto Wahyu Tryatmoko menyampaikan, hasil evaluasi yang dirilis Kementerian Dalam Negeri pada akhir 2013 terhadap 57 Daerah Otonom Baru (DOB) yang sudah berusia 3 tahun menunjukkan 78 persen DOB gagal berkembang.
Selanjutnya, evaluasi pada 2012-2019 terhadap daerah kabupaten/kota yang dimekarkan dari 2007-2014 menunjukkan, dari 75 daerah yang dievaluasi, 9 daerah memperoleh predikat baik, 10 daerah dengan predikat kurang baik, 55 daerah memperoleh predikat sedang, dan 1 daerah tidak termasuk dalam kategori manapun karena tidak ada data.
Sementara itu, kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2020 menunjukkan, masih banyak daerah yang termasuk dalam kategori daya saing rendah. “Dari hasil evaluasi tersebut memperlihatkan bahwa tujuan pemekaran belum terwujud. Padahal, proses tersebut sudah melalui berbagai tahapan mekanisme dan pemenuhan persyaratan dasar baik kewilayahan maupun kapasitas daerah,” kata Mardyanto.
Proses pembentukannya juga, jelas dia, melalui banyak tahapan pengusulan serta dilakukan penilaian oleh pemerintah pusat yang tentu saja sudah dilakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap daerah persiapan. Meski fakta demikian, hal tersebut tidak menyurutkan minat daerah untuk mengusulkan pemekaran daerah. Pemekaran daerah dianggap merupakan satu-satunya jalan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan, serta mendorong investasi daerah melalui peningkatan pelayanan publik, penyediaan kebutuhan dasar, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah.
“Padahal, sejatinya masih ada jalan lain berupa penggabungan dan penyesuaian daerah. Namun, hingga saat ini kedua alternatif ini belum pernah dilakukan. Pemekaran daerah tetap lebih mendominasi dari pada penggabungan daerah,” jelas Mardyanto.