Bandung – Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR), sebuah entitas yang seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Barat sebagai penggerak ekonomi daerah, kini terperosok dalam krisis multidimensional yang mengancam keberadaannya. Pengunduran diri mendadak Direktur Utama, Yuddy Renaldi, di tengah investigasi skandal korupsi markup dana iklan senilai Rp200 miliar, telah membuka kotak Pandora berisi permasalahan yang lebih dalam, termasuk kejanggalan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Yuddy Renaldi dan terkuaknya kembali kasus pailit PT Rahajasa Media Internet (Radnet). Rangkaian peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius tentang tata kelola perusahaan, integritas pimpinan, dan masa depan BJB sebagai bank yang melayani kepentingan rakyat Jawa Barat.
Ayi Subarna Approver, melalui keterangan resmi yang dirilis pada Selasa, 4 Maret 2025, mengumumkan pengunduran diri Yuddy Renaldi dengan alasan pribadi. Namun, publik menilai alasan ini tidak cukup untuk menutupi berbagai isu krusial yang tengah dihadapi BJB. Pengunduran diri tersebut justru memicu spekulasi yang lebih luas tentang keterlibatan Yuddy Renaldi dalam berbagai skandal yang melilit bank daerah tersebut.
Badai Korupsi Dana Iklan Rp200 Miliar: Benarkah Hanya Puncak Gunung Es?
Investigasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan markup dana penempatan iklan di BJB pada periode 2021-2023 telah mengungkap praktik korupsi yang sistematis dan terstruktur. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam keterangannya yang dikutip pada 16 September 2024, mengungkapkan bahwa total markup mencapai angka fantastis, yaitu Rp200 miliar. Modus operandi yang digunakan adalah penggelembungan harga hingga 100 persen. Misalnya, pemasangan iklan di satu media yang seharusnya berharga Rp200 juta, digelembungkan menjadi Rp400 juta per placement.
Dana hasil markup tersebut diduga kuat mengalir ke sejumlah pejabat, termasuk Ahmadi Noor Supit, dengan tujuan untuk meloloskan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sejauh ini, KPK telah menetapkan lima orang tersangka, dua di antaranya berasal dari internal BJB, termasuk seorang petinggi berinisial YR, yang sangat mungkin adalah Yuddy Renaldi.
Skandal korupsi ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga mencoreng citra BJB sebagai bank yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Muncul pertanyaan, apakah praktik korupsi ini hanya terjadi pada kasus dana iklan, atau ada praktik serupa di bidang lain? Apakah ada pihak-pihak lain di dalam BJB yang terlibat dalam praktik korupsi ini?
LHKPN Janggal: Gaya Hidup Mewah Dirut BJB di Tengah Pandemi Covid-19
Selain skandal korupsi dana iklan, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Yuddy Renaldi juga menjadi sorotan tajam. Investigasi yang dilakukan oleh PristiwaNews mengungkap adanya kejanggalan dalam LHKPN Yuddy Renaldi dari tahun 2019 hingga 2022. Harta kekayaan Yuddy Renaldi melonjak secara signifikan selama periode tersebut, yaitu dari Rp19.053.131.605 pada tahun 2019 menjadi Rp41.189.397.709 pada tahun 2022.
Peningkatan harta yang fantastis ini terjadi di tengah pandemi Covid-19, saat ekonomi global dan nasional mengalami kontraksi yang sangat parah. Banyak perusahaan yang terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Namun, di tengah kondisi yang sulit ini, harta kekayaan Dirut BJB justru melonjak drastis.
Data LHKPN menunjukkan bahwa Yuddy Renaldi memiliki aset yang fantastis, antara lain:
Tanah dan bangunan seluas 135 m2/156 m2 di Jakarta Selatan senilai Rp.3.300.000.000,-
Bangunan seluas 30 m2 di Jakarta Selatan senilai Rp.500.000.000,-
Tanah dan bangunan seluas 135 m2/120 m2/120 m2 di Jakarta Selatan senilai Rp.3.200.000.000,-
Tanah dan bangunan seluas 385 m2/325 m2 di Tangerang Selatan senilai Rp.5.200.000.000,-
Mobil Honda HRV 1.5 E CVT tahun 2016 senilai Rp.200.000.000,-
Mobil Honda ALL New CRV 1.5 Turbo Prestige tahun 2018 senilai Rp.406.000.000,-
Mobil Mercedes Benz C250 tahun 2016 senilai Rp.550.000.000,-
Mobil Mini Cooper John Cooper tahun 2016 senilai Rp.475.000.000,-
Motor Harley Davidson Sportster 48 HARD CANDY Tahun 2020 senilai Rp.484.000.000,-
Harta bergerak lainnya senilai Rp.1.199.022.055,-
Surat berharga senilai Rp.1.775.530.969,-
Kas dan setara kas senilai Rp.41.189.397.709,-
Peningkatan harta yang sangat signifikan ini menimbulkan pertanyaan besar. Dari mana sumber pendapatan Yuddy Renaldi sehingga bisa memiliki aset yang begitu mewah? Apakah ia memiliki bisnis di luar jabatannya sebagai Dirut BJB? Apakah ia menerima warisan dari orang tuanya? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang jujur dan transparan dari Yuddy Renaldi.
KPK didesak untuk melakukan cross-check ulang secara mendalam terhadap LHKPN Yuddy Renaldi. Apabila ditemukan indikasi tindak pidana pencucian uang atau gratifikasi, maka KPK harus segera menindaklanjutinya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kasus Pailit PT Radnet: Menguak Dugaan Perampasan Aset dan Ketidakadilan Hukum
Di tengah badai skandal korupsi dan LHKPN janggal, nama BJB juga terseret dalam kasus pailit PT Rahajasa Media Internet (Radnet), yang dialami oleh Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Roy Rahajasa Yamin, cucu Pahlawan Nasional Mohammad Yamin. Kisah yang menimpa KPH Roy Rahajasa Yamin ini sangat memilukan dan menggambarkan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi pengusaha kecil dan menengah di Indonesia.
Radnet merupakan perusahaan pelopor penyedia layanan internet di Indonesia. Pada tahun 2011, Radnet memenangkan tender proyek layanan internet di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) melalui BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) senilai Rp350 miliar. Untuk membiayai proyek tersebut, KPH Roy Rahajasa Yamin mengajukan pinjaman modal ke BJB sebesar Rp180 miliar dengan agunan berupa tagihan proyek senilai Rp300 miliar. Selain itu, BJB juga meminta jaminan tambahan aset berupa 3 rumah milik Mohammad Yamin yang terletak di Jalan Diponegoro, Jalan Pemuda, dan sebuah villa di Puncak. Total nilai agunan mencapai Rp500 miliar.
Namun, malapetaka mulai menghantui ketika pembayaran dari pemerintah tersendat pada tahun 2014. KPH Roy Rahajasa Yamin berupaya menagih ke Kementerian Kominfo, namun tidak kunjung dilunasi. Pada tahun 2017, permasalahan tersebut diselesaikan melalui persidangan arbitrase (BANI) sesuai dengan rekomendasi BPK RI. Hasilnya, Kementerian Kominfo terbukti wanprestasi dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp225 miliar.
Ironisnya, di tengah upaya untuk mendapatkan haknya, BJB justru mengajukan permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan mempailitkan Radnet pada 30 Oktober 2019. Akibatnya, KPH Roy Rahajasa Yamin kehilangan rumah Pahlawan Nasional Mohammad Yamin (Bangunan Cagar Budaya) di Jalan Diponegoro Nomor 10, Jakarta Pusat, yang disita oleh BJB pada Februari 2020. Selain itu, tagihan Radnet kepada Pemerintah senilai Rp225 miliar juga diambil melalui sita eksekusi paksa pada rekening milik BAKTI di Bank BNI kantor cabang Harmoni Jakarta oleh BJB bersama kurator pada 26 November 2021.
KPH Roy Rahajasa Yamin menduga ada permainan mafia tanah dan hukum yang menyebabkan Radnet dipailitkan oleh BJB. Ia menuding ada oknum bank yang bekerja sama dengan mafia tanah untuk mendapatkan aset dan tagihan proyek Radnet. KPH Roy Rahajasa Yamin merasa tidak mendapatkan keadilan di dalam negeri dan mengambil langkah berani dengan menggugat Pemerintah di Pengadilan Negeri Federal Amerika Serikat untuk Daerah Selatan, New York.