Jakarta, Business Asia – Kepala Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), NLP Indi Dharmayanti, menyatakan bahwa kemajuan teknologi sel punca harus disambut dengan kolaborasi terbuka dan dukungan regulasi yang adaptif. “Transformasi dari laboratorium ke layanan kesehatan memerlukan infrastruktur riset yang kuat dan kepemimpinan kolaboratif antarlembaga,” kata Indi.
BRIN menegaskan komitmennya dalam mendukung pembentukan roadmap nasional untuk inovasi terapi sel punca. Peta jalan ini akan menjadi pedoman riset dan strategi adopsi teknologi medis berbasis sel yang inklusif dan memperhatikan kesiapan sistem kesehatan Indonesia.
“BRIN dan ASPI sepakat membentuk kolaborasi berkelanjutan lintas negara dan lintas sektor. Kolaborasi ini diharapkan melahirkan produk inovatif yang tidak hanya berbasis riset berkualitas, tetapi juga dapat diadopsi oleh industri kesehatan secara nyata,” ucap Indi.
Dengan diselenggarakannya seminar ini, lanjut dia, Indonesia menunjukkan kesiapannya sebagai pemain utama dalam peta global terapi regeneratif. “BRIN dan ASPI mengajak seluruh pihak bergandeng tangan menciptakan ekosistem inovasi kesehatan berbasis ilmu pengetahuan, kolaborasi, dan keberlanjutan,” tegasnya.
Ketua Asosiasi Sel Punca Indonesia (ASPI), Rahyussalim, menambahkan bahwa sinergi BRIN-ASPI membuka jalur baru untuk mempercepat translasi hasil riset menjadi terapi yang aman, efisien, dan terjangkau. “Melalui forum ini, kita tidak hanya mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga membangun model implementasi terapi regeneratif yang kontekstual dengan tantangan lokal dan global,” jelasnya.
Kegiatan ini diikuti lebih dari 200 peserta dari dalam dan luar negeri. Seminar ini mempertemukan pakar sel punca dari Asia, Eropa, hingga Amerika. Mereka membahas potensi besar terapi regeneratif berbasis sel dan turunannya (secretome, exosomes) yang dinilai sebagai masa depan pengobatan berbasis personalisasi dan presisi.
Sesi simposium mencakup bahasan topik cell-free therapy, bioengineering, uji klinis, hingga tantangan regulasi terapi sel. Narasumber utama termasuk Dirjen Farmalkes Kementerian Kesehatan, Kepala BPOM, hingga peneliti senior dari Iran, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand menampilkan pendekatan inovatif dari masing-masing negara.
Pada hari pertama, diskusi mengupas pemanfaatan secretome dan extracellular vesicles (EVs) untuk terapi non-seluler. Beberapa hasil riset menunjukkan efektivitas tinggi EVs dalam penyembuhan jaringan tanpa risiko imunitas silang. Hal ini membuka potensi besar pengobatan regeneratif yang lebih aman dan logistiknya lebih sederhana.
Hari kedua fokus pada terapi berbasis sel (cell-based therapy), termasuk uji klinis terapi stem cell untuk stroke, penyakit kardiovaskular, dan gangguan degeneratif lainnya. Peneliti dari BRIN dan mitra internasional mempresentasikan data pre-klinis hingga rencana hilirisasi produk kesehatan yang berbasis bukti ilmiah.
Selain forum ilmiah, seminar juga menggelar kompetisi ilmiah untuk peneliti muda dan mahasiswa, sebagai upaya menumbuhkan ekosistem riset translasional sejak dini. Kompetisi ini dinilai sebagai bagian integral dari penciptaan SDM unggul dalam bidang biofarmasetika dan biomedis.
Workshop lanjutan yang dijadwalkan pada 22 Agustus 2025 dan rangkaian workshop lainnya dilaksanakan pada Agustus-September 2025 akan mendalami teknik laboratorium, bioproses, dan analisis klinis dalam terapi sel punca. Kegiatan ini bertujuan memperkuat kapasitas teknis para peneliti dan klinisi sebagai jembatan antara hasil riset dan layanan kesehatan.