Oleh: Budiawan, KAM Institute
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.” — Bung Karno
Ketika Amerika Serikat mengumumkan tarif impor 32% untuk produk Indonesia, banyak yang panik. Pemerintah pun segera bergerak. Hasilnya? Indonesia berhasil melobi hingga tarif diturunkan menjadi 19%. Tapi kita lupa bertanya satu hal yang paling mendasar: kenapa kita harus sedih?
Bukankah ini sebenarnya wake-up call terbesar untuk bangsa kita? Bukankah tarif tinggi dari negara asing adalah kesempatan untuk bangkit, membangun kekuatan produksi sendiri, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri?
Negara Mall, Bukan Negara Pabrik
Hari ini, kita lebih sering bangga jika kota kita dibangun mall baru, ketimbang pabrik baru. Lebih banyak startup pengantar makanan daripada startup produsen makanan. Kita jadi negara mall, bukan negara pabrik. Kita sibuk menjual, tapi tidak memproduksi.
Padahal Indonesia bukan negara miskin sumber daya. Kita kaya sawit, batu bara, nikel, rempah, hasil pertanian, bahkan tenaga kerja. Tapi kita lebih suka mengekspor mentah dan mengimpor jadi. Apa hasilnya? Kita jadi konsumen dunia.
Lihat saja ini:
* Beras: Impor dari Thailand, Vietnam
* Kedelai: Impor dari AS dan Brazil
* Gandum: Impor 100% karena tidak ditanam di Indonesia
* Bawang putih: Impor besar-besaran dari China
* Gula: Impor dari India, Thailand
* Mobil dan motor: Mayoritas dari Jepang, Korea, dan China
* Pakaian dan sepatu: Impor besar dari China, Vietnam
* Alat elektronik: Hampir seluruhnya impor
Apakah kita tidak bisa produksi sendiri? Bisa. Tapi kita tidak dipaksa. Negara-negara lain sudah paham: tanpa paksaan, tidak akan lahir kemandirian. Maka, jangan takut pada tarif. Bersyukurlah. Ini alarm kebangkitan kita.
Tarif: Musuh Bagi Konsumen, Berkah Bagi Produsen
Ada yang berargumen, “Gimana mau rebut pasar dalam negeri, harga barang impor dari China dan AS malah makin murah?”
Jawabannya: karena itu lah kita perlu tarif. Tanpa tarif, barang murah dari luar negeri akan membanjiri pasar dan mematikan industri dalam negeri yang baru merintis. Perlindungan diperlukan bukan untuk selamanya, tapi sampai kita kuat berdiri.
Namun, perlindungan itu hanya berguna kalau kita memang punya produksi. Kalau tidak ada produksi, atau produksinya kecil dan tak mampu bersaing, maka tarif malah merugikan. Sebab rakyat akan kesulitan menjangkau barang kebutuhan sehari-hari seperti pakaian dan sepatu—yang selama ini justru datang dari China atau Vietnam dengan harga sangat murah.
Maka jangan cuma ribut soal ekspor ke AS. Pertanyaannya: sudahkah kita menguasai pasar kita sendiri? Jika pangsa pasar domestik masih dikuasai produk luar, maka tak usah terlalu galau soal ekspor. Fokuslah rebut pasar lokal.
“Rebut pasar Indonesia dulu! Ini rumah kita, jangan hanya jadi penonton.”
Kalau Indonesia Diboikot Dunia, Justru Itu Berkah
Bayangkan jika semua negara menaikkan tarif terhadap barang dari Indonesia. Bahkan andaikan semua memboikot kita, seperti Iran.
Mungkin kita akan berteriak dan panik pada awalnya. Tapi seperti kata pepatah Arab, “Dalam setiap kesempitan pasti ada jalan keluar.” Justru di situlah kita dipaksa membangun dari dalam.
Bayangkan jika CPO (minyak sawit) kita tidak bisa diekspor, dan seluruh supply tertahan di dalam negeri. Harga CPO akan jatuh. Tapi siapa yang diuntungkan? Kita semua. Harga minyak goreng, sabun, mentega, kosmetik, dan bioenergi akan ikut murah. Industri dalam negeri akan bergairah karena bahan bakunya murah dan melimpah.
Ekonomi Indonesia bisa tumbuh dengan menyejahterakan pasar domestik, bukan terus bergantung pada ekspor mentah.
Bersyukur Ditekan: Karena Kita Akan Melawan
Kita memang ditekan dengan tarif. Tapi jangan salah. Amerika juga takut. Karena hari ini, Presiden Indonesia tak hanya berkunjung ke Washington, tapi juga ke Beijing, Riyadh, dan Moskow. Dunia tahu: kita punya banyak opsi. Dunia tahu: kita sedang bangkit.
Dan bangsa yang bangkit harus belajar menyambut tekanan dengan rasa syukur. Karena tekanan melahirkan perlawanan. Perlawanan menumbuhkan daya tahan. Dan dari daya tahan, lahir bangsa besar.
“Dan masa (kejayaan dan kekuasaan) itu, Kami pergilirkan di antara manusia.”
(QS. Ali ‘Imran: 140)
Hari ini mungkin kita ditekan. Tapi esok, kita bisa menjadi pengatur permainan. Karena bangsa yang diserang dan tak menyerah — akan menjadi bangsa yang menang.
Budiawan – ITB ’81
Untuk Gen Z dan Alpha yang ingin hidup di negeri yang berdaulat.
Jangan jadi generasi penonton, jadilah generasi pencipta.