Businessasia.co.id– Bukan rahasia lagi bahwa setiap tahun volume data yang dihasilkan, disimpan, dan dibagikan di berbagai media tumbuh secara eksponensial. Menurut analisis dari Statista, hampir 180 zettabyte (ZB) data diperkirakan akan dihasilkan pada tahun 2025, dibandingkan dengan tahun 2020 yang hanya 60 ZB. Meskipun hanya 2% data yang disimpan dari tahun ke tahun, itu berarti pada tahun 2024 perusahaan di seluruh dunia masih tetap perlu menyimpan dan melindungi lebih dari 3 ZB data, dan jumlah itu akan terus meningkat.
“Mayoritas Chief Information Security Officer (CISO) dan analis keamanan menyadari prediksi ini dan bersiap untuk dengan cepat melakukan scaling agar dapat secara efektif menangani dan mengamankan volume data yang sangat besar tersebut,”ucap Hanief Bastian, Technical Manager Indonesia, ManageEngine, kepada media, di Jakarta, pekan lalu.
Meningkatkan ketahanan siber untuk mencegah dan berhasil melawan entitas berbahaya adalah suatu keharusan mutlak bagi organisasi dengan skala apapun. Sistem dianggap tangguh jika dapat memastikan kelangsungan bisnis dalam menghadapi ancaman siber, dan program keamanan data yang baik adalah yang dapat membantu Anda mengembangkan pendekatan yang kuat dan tahan terhadap serangan siber.
Menurut Hanief Bastian, saat ini keamanan data menjadi kebutuhan mendesak. Ancaman keamanan semakin beragam dan cerdas. Faktanya, Indonesia telah mengalami banyak serangan terhadap sistem pertahanan data nasionalnya. Serangkaian insiden terkait serangan siber dimulai dengan kebocoran data ASN pada 2024 yang berdampak pada 4,7 juta pegawai negeri sipil ketika data mereka bocor ke dark web. Serangan lain terjadi pada bulan yang sama oleh seorang penjahat siber dengan nama Bjorka yang meretas dan membocorkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan data yang sangat sensitif milik 6,6 juta warga Indonesia.
Terkait hal tersebut, data terbaru dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami banyak anomali trafik hingga pertengahan tahun 2024. Sampai dengan Mei 2024, terdapat 74,6 juta anomali trafik yang berpotensi menjadi serangan siber. Sebanyak 44,6 juta (59,76%) dari anomali ini diidentifikasi sebagai aktivitas malware, sementara 13 juta (17,52%) melibatkan aktivitas Trojan.
Lebih lanjut Hanief menambahkan, agar tetap aman dari pelaku serangan siber, organisasi membutuhkan langkah keamanan yang menyeluruh dan berlapis. Ancaman terhadap keamanan data sangat banyak dan canggih seiring peningkatan secara eksponensial dalam produksi dan penyimpanan data. Semakin lama, upaya menjaga “harta” organisasi, yaitu datanya, makin menuntut pemilik data untuk tetap up to date tentang strategi serangan siber yang terus berkembang.
“Berbagai sektor telah meningkatkan investasi mereka dalam bidang keamanan siber seiring dengan semakin canggihnya teknik yang digunakan oleh pelaku kejahatan siber,” tegasnya.
Namun, kata dia, isu utama tidak hanya berkutat pada besarnya anggaran, tetapi juga pada bagaimana organisasi dapat mengalokasikan dan memanfaatkan dana tersebut secara optimal. Banyak bisnis mengalami kesulitan dalam menentukan protokol keamanan yang tepat. Ketidakmampuan dalam melakukan migrasi data dengan baik, ketergantungan pada vendor yang masih menggunakan sistem dan proses yang usang, serta ketiadaan solusi yang memiliki keahlian yang memadai sering kali menjadi penyebab ketidakefisienan tersebut.
Pastinya, di tengah meningkatnya nilai data dan peraturan perlindungan data yang semakin ketat, penerapan praktik-praktik baik tersebut diperlukan oleh organisasi modern di Indonesia yang ingin melindungi aset digital mereka dan mempertahankan kepercayaan, baik pelanggan dan pemangku kepentingan lain. Keamanan data bukan lagi pilihan, tetapi suatu keharusan dalam menghadapi era digital yang penuh tantangan ini.