Businessasia.co.id – Model kerja hybrid—yakni kombinasi antara bekerja dari kantor (Work from Office/WFO) dan dari rumah (Work from Home/WFH)—semakin populer pascapandemi COVID-19. Fenomena ini membawa perubahan mendasar dalam hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, khususnya dalam aspek pengaturan jam kerja, hak dan kewajiban, serta mekanisme pengawasan kinerja.
Menurut Lia Alizia, S.H., Principal Alizia & Partners Law Office, dalam konteks hukum ketenagakerjaan Indonesia, pengaturan hybrid working belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya. Oleh karena itu, penting bagi pelaku usaha dan profesional SDM/HR untuk memasukkan klausul kerja hybrid secara eksplisit dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
“Dari perspektif hukum, perjanjian kerja menjadi instrumen utama yang mengikat hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dalam skema hybrid working, perusahaan perlu menyesuaikan isi perjanjian kerja, paling tidak memperbarui isi dari peraturan perusahaan terutama pada aspek tempat kerja, waktu kerja, pelaporan kinerja, dan penggunaan fasilitas kerja,’ ujar Lia Alizia di Jakarta, kemarin.
Mengingat UU Ketenagakerjaan menetapkan batasan waktu kerja (misalnya 7 jam/hari untuk 6 hari kerja), maka hybrid working tetap harus tunduk pada norma jam kerja ini, meskipun pelaksanaannya bisa lebih fleksibel. Klausul hybrid working juga sebaiknya mencantumkan ketentuan mengenai pemantauan kinerja berbasis output serta penggunaan perangkat kerja pribadi (Bring Your Own Device) jika berlaku.
Pastinya, sambung Lia, aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3) juga tetap perlu diperhatikan, meskipun pekerjaan dilakukan dari lokasi di luar kantor. Prinsip kehati-hatian dalam hukum ketenagakerjaan mengharuskan pemberi kerja untuk tetap bertanggung jawab terhadap lingkungan kerja yang aman dan layak, termasuk ketika pekerja bekerja dari rumah. Dalam hal ini, beberapa perusahaan menerapkan kebijakan tunjangan WFH atau menyediakan perangkat kerja resmi.
Lebih lanjut Lia yang juga praktisi hukum ketenagakerjaan, menyatakan bahwa: “Perusahaan tetap memiliki tanggung jawab atas keselamatan kerja meskipun pekerja tidak berada di kantor, karena hubungan kerja tetap berlangsung di bawah tanggung jawab pemberi kerja. Di satu sisi juga perlu jelas diatur bahwa pekerja pun harus patuh dengan ketentuan keselamatan kerja. Oleh karena itu, pengaturan tertulis mengenai hak, kewajiban, dan standar kerja dalam konteks hybrid menjadi sangat penting. Di beberapa negara hal-hal seperti ini sudah ada pengaturannya.”
Sementara itu, dari sisi pembuktian hukum apabila terjadi perselisihan hak, seperti lembur, pemutusan hubungan kerja, atau pelanggaran disiplin, pengaturan kerja hybrid yang tidak tertulis atau bersifat ambigu dalam perjanjian kerja dapat menimbulkan celah hukum dan risiko ketidakpastian. Oleh karena itu, idealnya, seluruh mekanisme kerja jarak jauh harus dituangkan secara tertulis dalam dokumen formal seperti perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB. Dokumen ini harus mencakup metode pengawasan, pelaporan pekerjaan, serta evaluasi kinerja yang selaras dengan sistem hybrid.
Sebagai kesimpulan, pengaturan hybrid working merupakan bentuk adaptasi dunia kerja modern yang memerlukan penyesuaian hukum yang cermat. Meskipun belum diatur secara eksplisit dalam regulasi nasional, prinsip freedom of contract dalam hukum perdata membuka ruang bagi pengusaha dan pekerja untuk menyusun kesepakatan kerja yang fleksibel namun tetap sesuai dengan norma hukum ketenagakerjaan.
Dalam kesempatan itu, Praktisi hukum Lia Alizia, menekankan pentingnya compliance dan transparansi dalam menyusun sistem kerja hybrid, agar hubungan kerja tetap produktif dan minim risiko hukum.