Empat poin pokok dalam keIslaman dan KeIndonesian menjadi topik hangat yang disampaikan Komisaris Bank Syariah Indonesia (BSI), Komaruddin Hidayat dalam pemaparannya pada Seminar International Islamic Leaders Conference 2024, di Menara Syariah Twin Tower, Jakarta Barat, belum lama ini.
Empat poin pokok yang dipaparkan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayattulah, Jakarta, periode 2006 – 2010 dan 2010 – 2015 ini adalah Genealogi Negara Bangsa Indonesia, Islam dan Negara Bangsa dan Pilar Peradaban, Politik, dan Ekonomi serta Ethos Islam Dan Wirasusaha.
Genealogi Negara Bangsa Indonesia, Bangsa dan Negara Indonesia terbentuk dan berdiri bukan didasarkan pada kesamaan identitas mayoritas etnis, agama dan bahasa. Meskipun umat Islam merupakan penduduk mayoritas nusantara, Indonesia bukanlah “negara Islam”. Bahasa nasional yang dipakai pun berasal dari bahasa Melayu, bahasa warga minoritas. Nama Indonesia sendiri pertama kali dicetuskan pada tahun 1850 oleh sarjana Inggris bernama James Richardson Logan, berasal dari bahasa Yunani Indos dan nesos. Sebuah gugusan kepulauan yang berada di kawasan India. Waktu itu wilayah Asia Tenggara oleh orang Eropa diposisikan sebagai bagian dari kawasan India. Makanya Indonesia juga dikenal sebagai Hindia Belanda,” jelasnya.
Komaruddin menambahkan, bahwa Islam dan Negara Bangsa disebutan bahwa orang beriman pedoman hidupnya adalah Kitab Suci. Sedangkan sebagai warga negara rujukannya adalah Konstitusi. Berbahagialah, di Indonesia hubungan kitab suci dan konstitusi saling menopang dan mengisi. Bukan menegasikan. Tak ada larangan negara terhadap umat Islam untuk menjalankan ajaran agamanya. Hal ini sangat logis-historis mengingat umat Islam punya andil besar dalam mendirikan republik ini. Bahkan aspirasi umat beragama memperoleh perlindungan dan fasilitas politik berupa Departemen Keagamaan. Beberapa produk UU dan peraturan pemerintah mewadahi dan melindungi aspirasi umat Islam dalam menjalankan agamanya.
Poin selanjutnya adalah Pilar Peradaban, Politik, dan Ekonomi, Negara Republik Indonesia adalah anak kandung rakyat. Hanya saja, setelah lahir maka sebagian besar asset vital bangsa dan negara ini dikuasai oleh negara. Para sultan dan kekuasaan lokal melepaskan semua asetnya pada negara dengan janji dan harapan agar agar negara mampu melindungi dan menyejahterakan warganya. Harapan dan janji itu kemudian dituangkan dalam UUD sebagai tugas negara. Dengan demikian, siapapun yang duduk dalam pemerintahan mesti memegang janji dan amanat untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Melihat asset jumlah umat Islam sebagai warga mayoritas yang memiliki sejarah panjang, ummat Islam sangat potensial berperan sebagai pilar peradaban bangsa. Sampai tingkat tertentu peran ini sudah dilakukan.
Terakhir poin Ethos Islam Dan Wirasusaha, sebuah Riwayat menyebutkan, sembilan pintu rejeki terdapat di dalam perdagangan. Hadis ini sejalan dengan kenyataan historis bahwa kota Makkah adalah kota dagang. Sepuluh sahabat Nabi yang dijamin masuk surga, tujuh orang adalah sosok pedagang. Yaitu: Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, Tholhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Waqqas. Tiga lainnya dikenal sebagai ilmuwan. Yaitu: Ali bin Abi Thalib, Sa’id bin Zaid, Abu Ubaidah bin Jarrah. Dahulu pada awal penyebaran Islam di Nusantara, yang mengenalkan Islam adalah para pedagang, sehingga kota-kota pantai adalah pusat ekonomi dan penyebaran Islam. Karakter pedagang selalu akan memperbanyak teman dan relasi bisnis, tidak mencari musuh.
Empat poin pokok dalam KeIslaman dan KeIndonesian menjadi pijakan penting dalam memajukan perbankan syariah di Indonesia. ”Institusi Keuangan Islam seperti Bank Syariah, misalnya, ketika masuk ke pesantren dan lembaga Pendidikan Islam jangan hanya fokus bicara soal uang. Kehadirannya hendaknya memberikan penguatan dan pengkayaan pengembangan institusi, kurikulum dan etos entrepreneur,” tutup pria berkaca mata mengakhiri paparannya. (Kristopo)