Meningkatnya transformasi digital yang ditandai kian masifnya penggunaan internet di tengah masyarakat sejak Pandemi covid-19, di sisi lain juga mendorong tingginya ancaman serangan siber. Namun gap karena minimnya digital talent, terutama penguasaan bidang It security, menjadi celah yang kian mengkhawatirkan akan bahaya dari serangan kejahatan siber.
Fortinet merilis hasil penelitian baru tentang permasalahan utama seputar ketidaktersediaan, rekrutmen, keberagaman, dan kesadaran keamanan tenaga ahli keamanan siber. Sebagai bagian dari laporan global, survei yang digelar di Asia Tenggara dan Hong Kong menunjukkan bahwa 71% perusahaan yang terlibat mengaku kesulitan merekrut tenaga ahli yang berkualifikasi, khusus di bidang keamanan siber (cybersecurity).
“Survei yang digelar di Asia Tenggara dan Hong Kong menunjukkan bahwa 71% perusahaan yang terlibat mengaku kesulitan merekrut tenaga ahli yang berkualifikasi khusus di bidang keamanan siber (cybersecurity), sementara 63% di antaranya setuju bahwa konsekuensi dari kurangnya tenaga ahli tersebut menjadi ancaman bagi keamanan siber perusahaan,” ungkap Rashish Pandey, Vice President of Marketing and Communications Asia, Fortinet dalam paparan pers yang disampaikan (21/06/2022), di Jakarta.
Ditambahkan, bertambahnya perusahaan yang menggunakan teknologi berbasis cloud dan automasi pun semakin memperburuk permasalahan ketidaktersediaan tenaga ahli keamanan siber ini. Dalam hal ini, Fortinet berkomitmen mengatasi kesenjangan keahlian ini dengan membuat agenda peningkatan pelatihan yang dinamakan Training Advancement Agenda (TAA) dan menyusun program lembaga pelatihan guna meningkatkan akses dan jangkauan sertifikasi serta pelatihan keamanan siber yang dianggap penting bagi perusahaan yang akan merekrut tenaga ahli.“Fortinet menjanjikan 1 juta tenaga ahli terlatih pada tahun 2026 nanti, dan melalui kerja sama dengan mitra lokal, kami telah menerbitkan lebih dari 840.000 sertifikat sejak program dimulai,” ujarnya.
Sementara itu, Edwin Lim, Country Director, Fortinet Indonesia mengatkan, mengantisipasi kesenjangan ini, Fortinet Indonesia berinisiatif membantu upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai kesadaran keamanan siber dengan mengadakan program dan acara pendidikan bersama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). “Kami juga telah bermitra dengan institusi lokal untuk meningkatkan ketahanan keamanan siber dan kesadaran mereka terhadap pentingnya IT security ini melalui berbagai program. Bahkan Fortinert juga memiliki program pelatihan gratis -online training untuk IT Security di mana untuk level 2-3 free (gratis) dan untuk program sertifikasi level 4 ke atas baru dikenakan biaya. Program ini tak hanya berlaku untuk mitra usaha Fortinet, namun juga terbukan untuk umum,” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan, program ini juga sejalan untuk mendukung inisiatif nasional Making 4.0 Policy menuju era industry 4.0 yang sarat penggunaan teknologi informasi, perangkat digital yang terkoneksi dengan jaringan internet. Termasuk adanya tren adopsi beberapa teknolohi baru, seperti cloud, IoT dan sejenisnya yang juga rentan terhadap serangan siber. Termasuk ancaman terhadap critical infrastruktur yang harus segera diantisipasi sejak dini.
“Adalah kunci bagi organisasi atau perusahaan untuk meningkatkan keterampilan baru dan melatih kembali tenaga IT mereka yang ada saat ini, karena organisasi dapat dengan cepat mengadopsi teknologi cloud dan teknologi baru lainnya dalam tantangan lanskap keamanan siber yang juga makin tinggi,”ujarnya.
Diungkapkan dari laporan yang mengupas kesenjangan keahlian keamanan siber—di kawasan Asia menunjukkan bahwa kurangnya tenaga ahli keamanan siber kerap menimbulkan berbagai tantangan dan dampak beruntun bagi perusahaan-perusahaan di Asia, termasuk terjadinya pelanggaran keamanan yang diikuti dengan kerugian finansial. “Oleh karena itu, permasalahan kesenjangan keahlian untuk meningkatkan pengetahuan karyawan ini juga harus jadi focus untuk diatasi melalui training pelatihan dan sejenisnya,” kata Edwin.