Jakarta – Di masa lalu, Indonesia pernah berjaya di kancah dunia sebagai penghasil utama cengkeh, pala, karet dan tebu serta teh. Faktanya, komoditas primadona tersebut saat ini nyaris tidak menyisakan kedigdayaannya.
Memang, banyak faktor yang berpengaruh. Bisa karena alam, perubahan gaya hidup atau juga akibat perkembangan teknologi. Teh mengalami penurunan konsumsi karena ada bahan minum lainnya yang lebih diminati, sementara karet yang dahulu berasal dari getah, kini bisa digantikan dari minyak tanah. Namun, kemerosotan kejayaan dari berbagai komoditas tersebut sejatinya bisa dicegah bila didukung dengan ekosistem kebijakan yang kondusif, sehingga bisa tumbuh berkembang
secara berkesinambungan.
Kita tentu berharap, jangan sampai nasib serupa dialami oleh Sawit. Kita juga patut bersyukur diberikan anugrah Tuhan yang Maha Kuasa berupa alam yang subur hingga pohon sawit terus bertumbuh kembang di tanah air, lebih baik dari pada lokasi asalnya di Afrika. Melalui berbagai upaya kerja keras semua pihak dan episode perjalanan yang panjang, Indonesia saat ini menjelma sebagai produsen minyak mentah sawit terbesar dunia.
Sumbangsihnya pun dalam perekonomian nasional tidak bisa dipandang sebelah mata. Tumbuhan yang berasal dari Afrika tersebut kini menghidupi lebih dari 16 juta warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemajuan hilirisasi produk sawit saat ini turut berperan sebagai pengungkit perputaran roda
perekonomian di berbagai daerah. Oleh karenanya,
salah langkah dalam mengeluarkan kebijakan akan berdampak buruk pada kesejahteraan masyarakat
sepanjang rantai pasok.
Kemajuan hilirisasi sawit telah menghasilkan berbagai produk turunannya yang sudah mencapai 179 jenis (2023). Selain menjadi bagian penting dalam kebutuhan pangan, sawit juga banyak digunakan untuk kosmetik, bahan kesehatan hingga biodiesel. Yang paling mutakhir, ke depan Sawit memiliki potensi besar sebagai bahan baku bioavtur bagi dunia penerbangan, sehingga mendukung komitmen Indonesia menuju Net Zero Emision 2060. Indonesia memiliki prospek sebagai
produsen renewable energy terbesar karena dikarunia sumber bahan baku yang melimpah dari sawit.
Namun, prestasi Indonesia saat ini sebagai produsen terbesar minya sawit dunia tidak digapai dengan mudah. Industri sawit Indonesia telah melalui episode perjalanan yang panjang dengan pasang surutnya. Misalnya pada tahun 2011, terjadi oversupply CPO dari Indonesia, yang tidak diimbangi daya serap pasar global menyebabkan ambruknya harga CPO. Pada tahun 2011 perdagangan Indonesia masih sempat surplus US$ 26,1 miliar. Namun tahun berikutnya justru berbalik defisit US$ 1,7 miliar, antara lain sebagai dampak ambruknya harga CPO dunia.
Dampak langsung yang dirasakan adalah menurunnya harga TBS (Tandan Buah Segar), yang pada gilirannya menggerus kesejahteraan para Petani Sawit di berbagai Pelajaran yang dipetik adalah pentingnya kebijakan yang bisa menyeimbangkan antara supply dan demand. Perlu diciptakan sumber permintaan (konsumsi) yang
akan memastikan harga CPO stabil. Untuk menciptakan sumber permintaan, hilirisasi pada industri sawit perlu terus diperluas, terutama untuk kebutuhan produksi pangan dan energi terbarukan (renewable energy), termasuk yang sedang berjalan adalah mandatory campuran biodiesel.
Lahirnya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) pada tahun 2015, menjadi tonggak penting, yang berperan strategis dalam mendorong kemajuan mandatory campuran biodiesel melalui skema subsidi. Dalam kurun waktu 10 tahun, mandatory campuran biodiesel meningkat secara bertahap dari hanya 2,5%
(2008-2015) menjadi 35% pada 2023. Bahkan, pada tahun 2020-2022 saja, berkat biodiesel Indonesia dapat menghemat impor diesel dengan nilai mencapai Rp 226,6 triliun, serta mampu mereduksi gas rumah kaca sebesar 74,7 ton CO2.
Terlepas dari kemajuan yang ditorehkan BPDKS dalam mendorong mandatory campuran diesel, program yang masih menghadapi tantangan adalah program PSR (Peremajaan Sawit Rakyat), sebuah program untuk mendongkrak produktivitas kebun sawit rakyat. Kenapa penting? karena dengan semakin sempitnya ruang untuk melakukan ekstensifikasi lahan kebun, satu-satunya cara adalah mendorong intensifikasi (mendongkrak produktivitas) dengan meremajakan banyak pohon sawit yang sudah menua. Dan, kebun sawit rakyat ini merepresentasikan 42 persen dari hampir 17 juta hektare lahan sawit nasional.
Dari tahun 2017 hingga 31 Mei 2024, BPDPKS telah menyalurkan bantuan PSR kepada 151.185 pekebun dengan luas lahan 336.834 hektare. Namun capaian ini masih jauh dari harapan mengingat masih terdapat 2 juta hektare lahan yang perlu bantuan dalam kurun waktu 5-10 tahun yang akan datang.
Banyak berbagai persoalan atau kendala pada tahapan implementasi PSR di lapangan, yang
memerlukan komitmen dan koordinasi antar seluruh pemangku kebijakan baik di pusat maupun daerah.
Keberhasilan PSR ini menjadi sangat strategis untuk meningkatkan produksi sawit nasional, terutama untuk mengimbangi kebutuhan bahan baku sawit yang akan terus meningkat, baik untuk kebutuhan produksi pangan, produksi campuran biodiesel sesuai dengan rencana Pemerintah ke depan, maupun ekspor.
Tantangan untuk menjaga kesinambungan industri sawit nasional, terutama untuk menjaga kesejahteraan petani sawit juga bersumber dari eksternal. Pada akhir 2024, Uni Eropa akan memberlakukan full implementation atas European Union Deforestation Regulation (EUDR). Melalui aturan ini, berbagai komoditi termasuk sawit akan dihalangi masuk Uni Eropa kecuali bila mampu memenuhi aturan tentang bebas deforestasi melalui skema treacibility (ketertelusuran). Indonesia bersama beberapa negara penghasil sawit terus berdiplomasi dan bernegosiasi untuk bisa sampai pada titik win-win solution sehingga petani sawit kita tidak dirugikan.
Berbagai tantangan tapi juga peluang ke depan begitu luas dan nyata di depan mata, yang apabila tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, bisa merugikan industri sawit dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Itulah mengapa, pada buku “Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan” besutan Indonesia Palm Oil Strategic Studies
(IPOSS) yang diluncurkan hari ini, mengajak semua pemangku kepentingan untuk bersama-sama menciptakan dan memelihara ekosistem kelapa sawit dari hulu ke hilir yang semakin baik.