Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Filda Citra Yusgiantoro menyatakan, human capital atau modal manusia kompeten yang berdaya saing dan tempat kerja menjadi kunci sukses prosesi transisi energi di Indonesia. Disebutkan, transisi energi selain membutuhkan kebijakan pemerintah yang mumpuni, juga investasi dalam jumlah besar, kemajuan teknologi, komitmen internasional, pendidikan, dan pelatihan.
“Banyak aspek yang menjadi perhatian pada sisi sumber daya manusia dalam energi. Kita harus ingat bahwa pekerjaan hijau memberikan banyak peluang dan human capital menjadi kuncinya,” kata Filda saat memimpin sesi “Preparing Human Capital for Energy Transition” pada hari kedua Konferensi Energi Internasional yang diselenggarakan di Hotel Luwansa, Jakarta, pada Sabtu (16/9/2023).
Konferensi dwitahunan yang berlangsung pada 15-16 September 2023, dibuka secara resmi oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dihadiri Pendiri PYC sekaligus mantan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Ibu Lis Yusgiantoro, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia (Mendikbudristek), Duta Besar Kerajaan Malaysia untuk Republik Indonesia (RI) Dato’ Syed Md Hasrin Tengku Hussin, dan Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana, dan para peserta konferensi baik dari dalam maupun luar negeri.
Para pembicara sesi “Preparing Human Capital for Energy Transition” terdiri atas Eric Roeder yang bekerja sebagai Technical Specialist on Green Jobs, Climate Action and Resilience through Just Transition – Asia Pacific Region, International Labor Organization (ILO) berkedudukan di Thailand, Anindito Aditomo (Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek), Roberto Rossi (Cluster President of Indonesia and Timor Leste, Schneider Electric berkedudukan di Indonesia), dan Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Djoko Santoso.
Filda mengungkapkan, di berbagai negara pekerjaan hijau (green job) yang mendukung pelestarian lingkungan memberikan banyak peluang menguntungkan. Di sisi lain, kata dia, dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia dinilai tertinggal dalam hal kesiapan kebijakan untuk pekerjaan hijau, terutama pada area terkait dengan pasokan tenaga kerja. “Saya bersyukur, meskipun agak terlambat, Indonesia seperti banyak negara lainnya, saat ini mulai mengakui pentingnya mitigasi perubahan iklim dan transisi ke sumber energi yang lebih bersih. Transisi energi erat kaitanya dengan ketahanan dan kemandirian energi,” kata Filda.
Hal senada juga diungkapkan Eric Roeder, Technical Specialist on Green Jobs, Climate Action and Resilience through Just Transition – Asia Pacific Region, International Labor Organization (ILO) berkedudukan di Thailand. Ia juga mengapresiasi langkah-langkah konkret yang ditempuh Pemerintah Indonesia dalam memitigasi perubahan iklim dan transisi ke sumber energi lebih bersih. “Kebijakan yang baik. Semua pihak harus berada di garda terdepan untuk memperlambat percepatan perubahan iklim global,” kata Erick.
Integrasi Digital
Sementara itu, Roberto Rossi selaku Cluster President of Indonesia and Timor Leste, Schneider Electric – Indonesia mengungkapkan bahwa dalam Elektrisitas 4.0, integrasi digital dan listrik akan menciptakan keberlanjutan pembangunan di segala bidang.
Ia mengatakan, diperlukan langkah-langkah nyata untuk meningkatkan kualitas modal manusia untuk memenuhi kebutuhan keterampilan hijau. “Kita perlu melengkapi tenaga kerja Indonesia, baik yang ada saat ini maupun akan datang, dengan keterampilan hijau. Pengetahuan, kemampuan, nilai, dan sikap yang diperlukan untuk hidup, mengembangkan, dan mendukung masyarakat yang berkelanjutan dan efisien sumber daya,” kata Roberto.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengungkapkan bahwa dari segi pendidikan di Indonesia, perubahan iklim belum sepenuhnya dimasukkan ke dalam kurikulum dan kesadaran masyarakat tentang perubahan iklim masih bervariasi.
Menurut Anindito, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akan fokus pada modal manusia, seperti mengintegrasikan konten perubahan iklim ke dalam kurikulum baru (Kurikulum Merdeka), mempelajari perubahan iklim di Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Vokasional, serta meningkatkan kesadaran masyarakat.
Rencana selanjutnya, kata dia, adalah memodifikasi standarisasi bangunan sekolah dan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus fisik, Pengelolaan Kampus yang Ramah Lingkungan, dan menargetkan transformasi karbon rendah di kantor internal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. “Peran guru sangat penting dalam memastikan terlaksananya pendidikan perubahan iklim. Perguruan Tinggi mempunyai peran terkait transisi energi dengan mengurangi CO2 (karbon dioksida) melalui kerangka penelitian, pendidikan, pelatihan, teknis, keselamatan, ekonomi dan peraturan untuk meningkatkan penerapan Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS),” kata Anindito.
Dewan PYC Alex Wibowo : Diperlukan Kolaborasi Sinergis dalam Penyusunan Kebijakan Transisi Energi
Dewan Pengawas PYC Alexander E. Wibowo menegaskan, diperlukan kolaborasi sinergis yang melibatkan pemerintah, akademisi, dan sektor swasta sebagai pengguna dalam penyusunan kebijakan transisi energi yang efektif di Indonesia.
Pemerintah menargetkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada bauran energi nasional di tahun 2025. Kebijakan ini menjadi komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi hingga 29% pada tahun 2030, “Diperlukan regulasi yang menjadi acuan sektor energi baru dan terbarukan (EBT). Efisiensi energi nantinya akan memainkan peran signifikan dalam pemulihan ekonomi pada era endemi, saat ini,” kata Alex.
Alex mengungkapkan, ada tiga hal pokok yang menjadi kunci keberhasilan pengembangan industri menuju transisi energi hijau. Pertama, kebijakan rencana pembangunan energi nasional, pajak karbon, CFPP, insentif kendaraan listrik, dan pengembangan hidrogen. Kedua, kerja sama dalam penyusunan strategi transisi energi untuk menjaga kualitas dan keandalan.
“Ketiga, dalam kaitannya dengan transportasi berkelanjutan, tata kelola pemangku kepentingan adalah hal yang krusial. Ini untuk memastikan bahwa pembuat keputusan menerima data untuk penyusunan kebijakan bagi berbagai pasar, seperti perjalanan urban, transportasi darat dan laut, termasuk kendaraan listrik, hidrogen, dan hybrid,” kata dia.
Menurut Alex, kebijakan pemerintah sangat diperlukan dalam mengeksplorasi dan berbagi strategi mempercepat transisi energi dari sisi permintaan. “Harus fokus pada pendekatan inovatif untuk meningkatkan efisiensi energi dan mendorong penerapan praktik energi berkelanjutan secara luas. Aspek ini harus diterapkan pemerintah, akademisi, dan para pemangku kepentingan yang terkait,” kata dia.
Inka Yusgiantoro: Indonesia Butuh US$ 30-110 Miliar Wujudkan Transisi Energi
Dewan Pengawas PYC Inka B. Yusgiantoro mengatakan, Indonesia memerlukan dana sekitar US$ 30 – 110 miliar untuk mewujudkan transisi energi yang inklusif dan berkelanjutan di dalam negeri. “Pembiayaan multilateral menjadi kunci utama untuk mewujudkan transisi energi di Indonesia. Kita dapat mengintegrasikan pembiayaan multilateral dengan model Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) sebagai alternatif inovatif yang bermanfaat menuju masa depan energi berkelanjutan,” ujar Inka.
Inka menyebutkan, pembiayaan yang dibutuhkan Indonesia dalam prosesi transisi energi, mencakup pengakhiran dini operasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara serta membangun pembangkit energi terbarukan. PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI selaku country platform energy transition mechanism (ETM) akan menjadi lembaga di bawah Kementerian Keuangan, yang akan mengelola pendanaan terkait transisi energi di Indonesia.
Ada pun sumber pendanaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), komersial/INA sovereign wealth funds, Just Energy Transition Partnership (JETP), filantropi, bilateral/multilateral development finance, climate finance, dan impact fund.. “Tidak mudah mendapatkan sumber pendanaan yang diperlukan. Ada term and condition yang harus dipenuhi,” jelas Inka.
Luky Yusgiantoro: Indonesia Terkendala Mewujudkan Rasio Elektrifikasi dan Kualitas Kelistrikan
Sementara itu, Dewan Pengawas PYC Luky A. Yusgiantoro mengungkapkan bahwa Indonesia masih terkendala untuk mewujudkan pemenuhan rasio elektrifikasi dan kualitas kelistrikan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Berdasarkan data PT PLN (Persero), pada tahun 2020 terdapat 2.000 desa di Indonesia yang belum tersentuh listrik, sehingga diperlukan perhatian lebih agar program elektrifikasi di daerah 3T dapat dipercepat dan angka rasio elektrifikasi mencapai 100%. “Diperlukan inovasi untuk memaksimalkan potensi energi terbarukan dan penanganan permasalahan kelistrikan di Indonesia,” kata Luky.
Pada kesempatan itu, Luky juga memaparkan tetang hasil penelitian terbaru PYC mengenai Perdagangan Listrik Sistem Peer-to-Peer yang menggunakan teknologi blockchain sebagai solusi berkelanjutan bagi masyarakat. “Pameran proyek ini bertujuan untuk menghadirkan solusi yang merevolusi pasar listrik di Indonesia dengan penerapan teknologi blockchain dan panel surya,” kata dia.
PYC, lanjut Luky, juga berkolaborasi dengan Blockchain and Climate Institute dari Inggris dalam mengembangkan simulasi sistem transaksi listrik berbasis panel surya di Gumelar, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah dan di Kariangau, Balikpapan Barat, Provinsi Kalimantan Timur. “Kami mensimulasikan platform terdesentralisasi yang memungkinkan perdagangan energi langsung antara produsen dan konsumer (prosumer) dalam mobile application,” ujar Luky.
Sementara itu, Wakil Presiden Eksekutif Energi Terbarukan PT PLN Zainal Arifin mengapresiasi simulasi proyek Perdagangan Listrik Sistem Peer-to-Peer sebagai sebuah inovasi yang perlu dipertimbangkan dan tidak dilarang pemerintah. Zainal mengatakan, langkah selanjutnya adalah studi lebih lanjut terkait keuntungan dan kerugian, serta kesiapan masyarakat Indonesia menggunakan model transaksi ini.
“Target emisi nol bersih yang sudah disepakati negara-negara di dunia membutuhkan komitmen dan aksi yang nyata agar dapet tercapai. Kolaborasi dari berbagai stakeholders penting untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Oleh sebab itu, berbagai inovasi yang dapat mempercepat pengaplikasian energi terbarukan, termasuk sistem transaksi listrik, perlu dikembangkan secara berkelanjutan,” kata Zainal.