Businessasia.co.id – Swasembada pangan telah menjadi cita-cita nasional yang terus diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia. Dengan kekayaan alam melimpah, pencapaian cita-cita ini bukan hal mustahil, tetapi membutuhkan strategi terukur, koordinasi lintas sektor, dan kepemimpinan yang kuat. Kementerian Koordinator Bidang Pangan (Kemenko Pangan) telah menyusun rencana strategis untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan.
Salah satu tokoh yang membidani lahirnya Rencana Strategis (Renstra) Kemenko Pangan adalah Dr. Ir. Sugeng Santoso, M.T., QRGP., CGRE., Staf Ahli Bidang Ekonomi Maritim Kemenko Pangan. Saat bergabung dengan Kemenko Pangan, Sugeng menjadi Ketua Tim Renstra dan Tim Dashboard Kemenko Pangan.
Dashboard Kemenko Pangan merupakan sebuah sistem informasi terpusat yang digunakan untuk memantau dan mengkoordinasikan upaya pencapaian Indikator Kinerja Utama menuju swasembada pangan dalam suatu sistem pendukung keputusan. “Dashboard itu sekarang ada di ruang Pak Menko sebagai war room. Jadi tiap hari beliau lihat,” terang Sugeng dalam wawancara khusus dengan Business Asia Indonesia pada Rabu (16/7/2025).
Sebagai Ketua Tim Renstra Kemenko Pangan, Sugeng bersama tim renstra merancang strategi dan program-program prioritas untuk menjawab Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 yang diamanatkan kepada Kemenko Pangan, dimana salah satu program prioritas adalah swasembada pangan.
Sugeng menjelaskan, ada dua Indikator kinerja utama (IKU) menuju swasembada pangan yaitu pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian, kehutanan dan perikanan dan Indeks Ketahanan Pangan (IKP). Kondisi baseline PDB pertanian pada 2024 sebesar 0,67% dan ditargetkan naik sebesar 2,2% pada tahun 2025. “Untuk itu diperlukan terobosan dan strategi untuk mengungkit pertumbuhan tersebut,” ujar Sugeng yang sebelumnya menjabat sebagai Staf Ahli Ekonomi Maritim Kemenko Marves.
Pria yang pernah menduduki berbagai jabatan penting di beberapa Kementerian ini menjelaskan bahwa dalam indeks ketahanan pangan, ada tiga kluster yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan. Masing-masing kluster ini memiliki beberapa indikator.
Sugeng mencontohkan, indikator untuk kluster ketersediaan pangan diantaranya rasio konsumsi normatif per kapita terhadap produksi bersih pangan (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, pisang) dimana hal ini sesuai kearifan lokal. Kluster keterjangkauan, indikatornya antara lain koefisien variabilitas harga dan prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan. “Jadi harus dipetakan daerah mana saja yang masuk area prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan atau Prevalence of Undernourishment (POU). Di Indonesia pada tahun 2024 itu POU-nya sebesar 8,53%. Target tahun 2025, angkanya diturunkan dari 8,53% menjadi sekitar 7,5%,” tuturnya.
Sementara untuk kluster pemanfaatan, indikatornya terkait Skor Pola Pangan Harapan (PPH), persentase keamanan pangan yang memenuhi standar (segar & siap saji) terhadap total sampel.
Tantangan Swasembada Pangan
Menjawab tantangan swasembada pangan, Sugeng melakukan pendekatan melalui Formulasi Romer yang mengacu pada model pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Paul Romer. Model ini menyoroti peran penting inovasi dan pengetahuan dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang, yang berbeda dari model pertumbuhan klasik yang berfokus pada akumulasi modal dan tenaga kerja.
Formulasi Romer untuk mendongkrak swasembada pangan berkaitan dengan fungsi kapital, labour, dan produktivitas. Beberapa kebijakan yang ditetapkan diantaranya Tata Kelola Pupuk Bersubsidi (Inpres 6 Tahun 2025): Tata Kelola Pupuk Bersubsidi bertujuan untuk mengoptimalkan Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi dalam rangka mencapai ketahanan pangan; “Penyaluran pupuk selama ini melewati meja yang banyak sekali, sehingga saat dibutuhkan pupuk belum sampai ke petani, harus dilakukan re-engineering bisnis proses, misalnya di-bypass dari sekitar 100 kebijakan menjadi kebijakan yang ringkas, pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi yang tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat mutu, dan tepat penerima”
Kedua terkait dengan labour atau sumber daya manusia (SDM) diperlukan peran penyuluh sebagai intermediator. “Jadi antara sisi demand dan supply untuk pertanian itu harus ada linkage atau intermediasi,” ujar Sugeng yang menyelesaikan pendidikan S1 – Teknik Mesin, S2 Teknik Industri dan S3 Ilmu Ekonomi.
Sugeng memandang peran penyuluh pertanian sebagai intermediasi yang menyampaikan informasi terkait teknologi dan inovasi kepada petani atau nelayan. Untuk itu, ia berharap penyuluh yang ada di daerah tetap berfungi sebagai penyuluh bukan berubah fungsi sebagai selain penyuluh sebagai transformasi pengelolaan pertanian tradisonal menuju pertanian modern, melalui pendayagunaan penyuluh pertanian.
Selanjutnya adalah bagaimana meningkatkan indeks pertanaman yaitu ukuran yang menunjukkan berapa kali dalam satu tahun suatu lahan pertanian dapat ditanami dan dipanen. Menurut Sugeng, sebagian lahan pertanian di Indonesia mengandalkan tadah hujan, sehingga upaya meningkatkan indeks pertanaman terkendala masalah sumber air atau irigasi.
Untuk mengatasi kendala tersebut, terbit Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan, Peningkatan, Rehabilitasi, serta Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi untuk Mendukung Swasembada Pangan. “Sejak berdirinya Kemenko Pangan, kita melakukan analisis kondisi existing dan causal loop diagram berupa upaya transformasi kebijakan menuju swasembada pangan,” ujar Sugeng yang pernah menjadi Ketua Tim Renstra Badan Ekonomi Kreatif 2025-2019.
Selain itu ada juga pembaruan kebijakan presiden tentang neraca komoditas (Perpres No. 61 Tahun 2024), serta dalam rangka mendukung penguatan Cadangan Beras Pemerintah guna meningkatkan ketahanan pangan nasional dan pencapaian swasembada beras, serta meningkatkan pendapatan petani diterbitkan Inpres Pengadaan Dan Pengelolaan Gabah/Beras Dalam Negeri Serta Penyaluran Cadangan Beras Pemerintah (Inpres Nomor 6 Tahun 2025) agar hasil panen petani berupa gabah dengan harga yang bagus.
Dalam upaya memperkuat ketahanan pangan nasional dan mendukung pencapaian swasembada jagung, Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Pengadaan dan Pengelolaan Jagung Dalam Negeri serta Penyaluran Cadangan Jagung Pemerintah (CJP).
Melalui Inpres tersebut, ditetapkan bahwa target pengadaan jagung pipilan kering yang bersumber dari dalam negeri untuk tahun 2025 sebesar 1 juta ton, dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 5.500 per kilogram (kg) dengan kadar air 18 sampai 20 persen “Kebijakan presiden tersebut lahir dari hasil beberapa kali rapat koordinasi terbatas yang bisa diterapkan ke semua stakeholder yang ujungya untuk swasembada pangan,” terang Sugeng yang menjadi Wakil Ketua Pelaksana Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi sejak Tahun 2023 sampai dengan sekarang.
Pemanfaatan Teknologi dan Inovasi
Selain transformasi kebijakan, swasembada pangan juga didukung teknologi dan inovasi untuk meningkatkan produktivitas. Strategi yang bisa diterapkan adalah intensifikasi dan ekstensifikasi. Ekstensifikasi dilakukan melalui penambahan luas areal tanam. Sementara intensifikasi dilakukan untuk meningkatkan produktivitas melalui bibit unggul, permesinan (drone, Internet of Things (IoT) dan lainnya), dan teknologi lainnya.
Sugeng mencontohkan petani di Pondok Pesantren Al-Ittifaq di Ciwidey, Bandung telah menggunakan teknologi green house, internet of things, dan traceability. Pengelolaan bisnisnya itu berupa koperasi. Jadi pondok pesantren ini melakukan learning organization dan transformasi.
Selain bercocok tanam dalam green house, Pondok Pesantren Al-Ittifaq mengembangkan alat untuk mengukur curah hujan, kelembaban dan lain-lain. Pola pertaniannya sudah disinkronkan dengan demand dari beberapa pasar modern. Namun, Pondok Pesantren Al-Ittifaq baru bisa memenuhi 21% dari permintaan pasar modern tersebut. Karena itu, Kemenko Pangan mengupayakan untuk membangun jejaring untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Sugeng menyampaikan bahwa keberhasilan Pondok Pesantren Al-Ittifaq ini perlu ditularkan kepada ekosistem atau komunitas petani yang lain. Saat ini, petani dianggap itu kurang transformasional dan literasi terhadap teknologi kurang. “Karena itu secara paralel peran penyuluh harus ditingkatkan, ketersediaan bibit unggul, petani milenial yang transformasional, beserta perbaikan ekosistemnya,” terang Sugeng yang pernah menjadi Pengarah Program Prioritas Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah.
Manajemen Risiko Pembangunan Nasional Lintas Sektor
Selain implementasi monitoring dan evaluasi, Kemenko Pangan itu juga melaksanakan amanah terkait Transformasi Tata Kelola Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045 (Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024) yaitu Manajemen Risiko Pembangunan Nasional. Untuk mengawal program strategis nasional, Pemerintah menerapkan Manajemen Risiko Pembangunan Nasional Lintas Sektor termasuk untuk ketahanan pangan dalam rangka menuju swasembada pangan.
Gambaran manajemen risiko pembangunan nasional lintas sektor, misalnya terkait Ketahanan Pangan dimana Entitas utama adalah Kementerian Pertanian yang didukung Kementerian Pekerjaan Umum yang mengurusi irigasi tarikan demand melibatkan Kementerian BUMN dan BUMN, misalnya Bulog yang menangani serapan gabah, pupuk oleh Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC).
“Setelah dipetakan maka terlihat siapa melakukan apa dan bagaimana indikator kinerja untuk masing-masing dalam satu kesatuan itu yang lintas sektor. Selanjutnya bagaimana operasionalisasi di lapangan berarti ada risiko operasional lintas sektor,” ujar pria kelahiran Surabaya ini.
Menurut Sugeng, transformasi tata kelola MRPN ini merupakan hal baru di RPJMN dan RPJPN. Tapi hal ini harus dilakukan karena program strategis nasional melibatkan lintas stakeholder dan lintas sektor. “Peranan Kemenko sangat penting dalam transformasi tata kelola lintas sektor, disamping itu, Kemenko juga sebagai unit pemilik risiko,” imbuhnya.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 39 tahun 2023 tentang Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) yang merupakan kegiatan terkoordinasi untuk mengarahkan dan mengendalikan entitas MRPN sehubungan dengan adanya risiko pembangunan nasional. “Ini memang hal baru, maka pemahaman dan transformasi terkait dengan manajemen risiko pembangunan nasional itu sangat penting,” tegas Sugeng, Tim Pelaksana Komite MRPN.
(Percepatan) Pembentukan Koperasi Desa/ Kelurahan Merah Putih
Selain menjalankan fungsi koordinasi kementerian/lembaga di bidang pangan, Kemenko Pangan mendapatkan tugas khusus untuk percepatan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Penugasan khusus tersebut tertuang dalam Inpres Nomor 9 Tahun 2025.
Dalam pembentukan Koperasi Merah Putih, Kemenko Pangan menjadi koordinator terhadap 16 menteri dan kepala lembaga, gubernur, wali kota, dan bupati di seluruh Indonesia. Untuk mengawal Inpres tersebut, diterbitkan Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 2025 tentang Satuan Tugas Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.
Dalam Kepres tersebut, satuan tugas (Satgas) dibagi dalam empat wilayah. Wilayah 1 meliputi Provinsi Jawa Tengah, DIY dan seluruh provinsi di Kalimantan; Wilayah 2: Provinsi Jawa Barat dan seluruh provinsi di Sumatera; Wilayah 3: Provinsi Banten, Jakarta, seluruh provinsi di Sulawesi, seluruh provinsi di Maluku, dan seluruh provinsi Papua; serta Wilayah 4: Provinsi Jatim, Bali, NTB, dan NTT.
“Saya sendiri dalam Satgas di Kemenko Pangan sebagai koordinator wilayah 4, tapi kita bekerja secara total football. Saya pernah membantu dan mendampingi Wilayah 3 yaitu Negeri Hitulama, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, juga pernah mendampingi/ berdiskusi dengan beberapa kepala desa dan camat di Provinsi Kalimantan Selatan (Wilayah 1) dan juga mendampingi Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP) Sukamaju, Cilodong, Kota Depok yang berada di wilayah 2. Kita ditugaskan saling membantu terhadap wilayah yang lain,” ungkapnya.
Pada Inpres Nomor 9 Tahun 2025 ini juga terdapat Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) Lintas Sektor karena meliputi 16 Menteri/ Kepala Lembaga yang dalam implementasi akan terkait Manajemen Risiko Pembangunan Nasional Organisasi serta Manajemen Risiko Operasional termasuk manajemen risiko keuangan KDMP/ KKMP. Hal yang perlu diperhatikan adalah Tujuan KDMP/ KKMP adalah meningkatkan kinerja koperasi dan kesejahteraan anggota, dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Koperasi menyusun Rencana Strategis termasuk rencana bisnis/ kegiatan usaha sesuai Inpres Nomor 9 Tahun 2025 berupa gerai usaha yang sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Dalam struktur organisasi, kepala desa atau lurah menjadi ketua pengawa (ex officio). Karena itu,selain Ketua Pengurus, peranan kepala desa atau lurah terhadap pengembangan Koperasi Merah Putih sangat strategis.