Jakarta, Business Asia — Transisi menuju kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kini dipandang sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia. Lebih dari sekadar agenda lingkungan, elektrifikasi transportasi membuka peluang investasi baru, menciptakan lapangan kerja berkualitas, serta mendorong efisiensi fiskal melalui penghematan subsidi energi.
Pesan tersebut menjadi benang merah dalam sesi tematik “Memaksimalkan Manfaat Ekonomi dan Sosial dari Transisi Kendaraan Listrik” yang digelar dalam rangkaian Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025 di Jakarta.
Analisis INDEF menunjukkan hampir 20% pengeluaran non makanan rumah tangga di Indonesia dialokasikan untuk kebutuhan kendaraan, mencakup pembelian, perawatan, pajak, dan bahan bakar. Karena itu, transisi EV berpotensi menghadirkan manfaat ganda: menekan biaya mobilitas masyarakat sekaligus mengurangi tekanan fiskal dari subsidi energi konvensional.
“Indonesia kini memasuki tahap di mana hilirisasi tidak lagi hanya soal menambah nilai ekspor, tetapi membangun ekosistem industri yang berkelanjutan dan terintegrasi dari hulu ke hilir. Dari sini, Indonesia memperoleh nilai tambah dan daya saing yang jauh lebih kuat. Ekosistem dalam negeri terbentuk, ekspor meningkat, devisa bertambah, dan lapangan kerja tumbuh—lebih dari 10 ribu tenaga kerja telah terserap dari proyek-proyek yang sudah berjalan. Ke depan, tantangannya adalah memperkuat ekosistem dalam negeri agar manfaat ekonomi ini terus berlipat,” ujar Ahmad Faisal Suralaga, Direktur Strategi dan Tata Kelola Hilirisasi, Kementerian Investasi/BKPM.
Reformasi Fiskal untuk Transisi yang Rasional dan Berkelanjutan
Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, menekankan pentingnya desain kebijakan fiskal yang cermat dalam mempercepat transisi kendaraan listrik. Ia mengatakan, “Penerapan cukai emisi dapat menjadi strategi fiskal yang berkelanjutan karena mampu mengkompensasi bahkan melebihi potensi kehilangan pajak tahunan akibat insentif kendaraan listrik, hingga mencapai 111%. Selain itu, struktur tarif cukai ini akan menciptakan sistem yang lebih adil karena memberi disinsentif bagi kendaraan tinggi emisi tanpa membebani pengguna kendaraan rendah emisi.”
Temuan INDEF juga menunjukkan bahwa secara agregat, potensi beban fiskal untuk kendaraan berbahan bakar fosil mencapai sekitar Rp308 triliun per tahun, atau 95% lebih besar dibanding potensi penerimaan negara yang hilang akibat insentif kendaraan listrik yakni sebesar Rp14,7 triliun per tahun. Oleh karena itu, diperlukan desain kebijakan fiskal yang tepat agar elektrifikasi transportasi dapat dipercepat sekaligus menjadi solusi berkelanjutan untuk menekan subsidi dan kompensasi BBM yang selama ini menjadi beban fiskal yang besar.
Hilirisasi sebagai Alat, Inovasi sebagai Tujuan
Menanggapi arah kebijakan hilirisasi industri kendaraan listrik, Dimas Muhamad, Deputi Koordinator Sekretariat Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, menegaskan pentingnya orientasi pada inovasi dan nilai tambah manusia.
“Hilirisasi telah menghasilkan berbagai capaian, namun kita tidak boleh berpuas diri. Hilirisasi adalah alat, bukan tujuan. Saat ini, industri baterai Indonesia seolah bertumpu pada kekayaan alam kita khususnya nikel, ke depannya harus digerakkan bukan oleh apa yg ada di bawah tanah Indonesia tapi inovasi manusia yang berada di atasnya—riset, teknologi, dan kreativitas,” ujarnya.
Efisiensi Transportasi Publik dan Dampak Langsung bagi Masyarakat
Potensi manfaat ekonomi dari elektrifikasi transportasi publik ditekankan oleh Gonggomtua Sitanggang, Direktur Asia Tenggara Institute for Transportation and Development Policy (ITDP). “Elektrifikasi bus dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar melalui efisiensi biaya operasional hingga 30% dan berpotensi mengurangi subsidi bahan bakar minyak dibanding bus berbahan bakar fosil. Penghematan ini memungkinkan kota memperluas cakupan rute dan menambah jumlah armada dan pada akhirnya menurunkan biaya transportasi masyarakat. Namun, manfaat ini hanya dapat tercapai dengan komitmen kuat dari pemerintah, insentif yang tepat dan didukung regulasi yang menekan biaya pengadaan kendaraan,” ungkapnya.
ITDP juga mencatat bahwa penerapan elektrifikasi transportasi publik di kota-kota besar seperti Jakarta dapat memberikan rasio manfaat-biaya (BCR) hingga sebesar 2,4—artinya setiap Rp1 biaya menghasilkan Rp2,4 manfaat ekonomi dan sosial, mulai dari penghematan energi dan biaya perawatan hingga peningkatan kualitas udara dan kesehatan publik.
Kemandirian Industri dan Penciptaan Lapangan Kerja Hijau
Sementara itu, dari sisi pelaku industri R. Hanggoro Ananta dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (AISMOLI) turut menegaskan bahwa keberhasilan transisi kendaraan listrik akan menciptakan efek berganda terhadap industri nasional dan penyerapan tenaga kerja.
“Transisi kendaraan listrik bukan hanya langkah menuju nol emisi, tetapi jalan menuju ekonomi hijau yang memperkuat kemandirian bangsa dan membuka lapangan kerja berkualitas. Untuk mencapainya, kita perlu memperkuat rantai pasok lokal, mengembangkan riset teknologi baterai, dan mengintegrasikan energi terbarukan agar industri ini tumbuh dari inovasi dalam negeri, bukan dari ketergantungan pada impor,” ujar Hanggoro.
AISMOLI sendiri saat ini menaungi lebih dari 57 perusahan aktif yang mencakup manufaktur, komponen, hingga konversi sepeda motor listrik. Dengan ekosistem yang terus tumbuh, industri motor listrik nasional diproyeksikan dapat menciptakan lebih dari 150 ribu teknisi dan tenaga kerja baru pada 2030, seiring peningkatan kapasitas produksi dan adopsi kendaraan listrik nasional.
Diskusi ini menegaskan bahwa percepatan transisi kendaraan listrik tidak dapat berjalan sendiri. Diperlukan sinergi lintas sektor antara pemerintah, lembaga riset, pelaku industri, lembaga keuangan, dan masyarakat untuk memastikan kebijakan, investasi, dan inovasi bergerak searah menuju target emisi nol bersih.
Dari sisi fiskal, transisi ini berpotensi mengurangi beban subsidi bahan bakar fosil dan menata ulang struktur insentif agar lebih efisien; dari sisi publik, menekan biaya mobilitas dan meningkatkan kualitas udara perkotaan; dan dari sisi industri, menciptakan rantai pasok baru serta ratusan ribu lapangan kerja hijau yang memperkuat kemandirian ekonomi nasional.
Elektrifikasi transportasi mencerminkan pergeseran paradigma pembangunan, dari ekonomi berbasis konsumsi energi menuju ekonomi berbasis inovasi dan keberlanjutan. IISF 2025 menjadi ruang bagi kolaborasi lintas pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa transisi energi Indonesia bukan hanya lebih bersih, tetapi juga lebih adil, mandiri, dan menyejahterakan.