Businessasia.co.id – Di tengah derasnya arus informasi global dan kompleksitas tantangan digital, Indonesia terus bergerak menuju kedaulatan digital yang inklusif dan berkelanjutan. Literasi digital menjadi langkah awal untuk memperkuat ketahanan nasional.
Dalam wawancara eksklusif dengan Business Asia Indonesia, Wijaya Kusumawardhana, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya, mengungkapkan strategi, tantangan, hingga harapan besar pemerintah dalam membangun ekosistem literasi digital berbasis nilai kebangsaan.
Menurut Wijaya, literasi digital sangat penting karena menjadi langkah awal memperkuat ketahanan nasional. Literasi digital mengajarkan masyarakat menjadi lebih cakap menggunakan teknologi, memiliki akses yang merata, memahami budaya dan adab digital, dan bersikap etis di dunia maya. “Kalau masyarakat sudah paham cara beraktivitas secara sehat di ruang digital, maka mereka bisa lebih bijak dalam memilah informasi dan terhindar dari konten negatif seperti hoaks, provokasi, kebencian dan penipuan,” tutur Wijaya di Kantor Kementerian Komdigi, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Dengan literasi digital, lanjutnya, masyarakat jadi lebih sadar dan waspada terhadap ancaman yang bisa memecah belah persatuan, seperti ujaran kebencian atau berita palsu lainnya. Literasi digital juga membantu menciptakan ruang digital yang aman, nyaman, dan produktif sehingga stabilitas dan ketahanan nasional bisa terjaga.
Memilah Informasi Secara Kritis
Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 menyebutkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai 79,5% atau sekitar 221,5 juta jiwa dari total populasi 278,6 juta orang.
Menurut Wijaya, masyarakat Indonesia saat ini memang sudah semakin aktif menggunakan internet, tetapi belum semuanya siap memilah informasi secara kritis. Banyak yang masih mudah percaya dan menyebarkan berita tanpa memverifikasi kebenarannya terlebih dahulu. Hal ini terlihat dari masih tingginya penyebaran hoaks di berbagai platform, terutama saat momen-momen sensitif seperti pemilu atau isu sosial. “Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi kritis masyarakat masih perlu ditingkatkan secara merata,” tuturnya.
Wijaya menyampaikan, pemerintah telah berupaya meningkatkan literasi digital, termasuk pelatihan, kampanye edukatif, hingga pelibatan komunitas. Tantangan terbesarnya adalah menjangkau kelompok masyarakat yang belum terbiasa berpikir kritis di dunia digital, termasuk di daerah pelosok atau kelompok usia tertentu.
Untuk itu, Kementerian Komdigi menekankan pentingnya literasi digital yang inklusif dan berkelanjutan. Artinya, setiap kegiatan tak hanya bersifat seremonial, tapi dirancang untuk membentuk kebiasaan baru. “Di masyarakat pedesaan, kami hadirkan pelatihan yang adaptif dengan kehidupan sehari-hari, seperti cara memverifikasi informasi, menghindari penipuan digital, atau menggunakan aplikasi pertanian,” tutur Wijaya yang menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Universitas Indonesia (UI) pada 1993.
Untuk lansia, pendekatan intergenerasi dilakukakan dengan melibatkan anak-anak atau cucu mereka untuk membantu proses belajar digital. Untuk anak muda, Kementerian Komdigi membangun ekosistem digital di komunitas, diantaranya melalui BAKTI Komdigi Merajut Nusantara, serta program Literasi Digital Nasional telah berhasil menjangkau lebih dari 30 juta masyarakat Indonesia. “Selain itu, kami mendorong kolaborasi lintas sektor dengan pemerintah daerah, Lembaga pendidikan, hingga media lokal, agar pesan literasi digital sampai dan diterima dengan baik oleh semua kalangan, termasuk di wilayah 3T yang sebelumnya sulit dijangkau,” ujarnya.
Mewujudkan Kedaulatan Digital
Banyak orang menyangka bahwa kedaulatan digital hanya soal server lokal atau data center. Menurut Wijaya, inti dari Kedaulatan digital adalah bagaimana kita menjaga ruang digital agar tetap aman, sehat, dan bermakna bagi semua lapisan masyarakat.
Kedaulatan digital artinya Indonesia punya kendali atas data dan sistem digitalnya, termasuk perlindungan keamanan data pribadi masyarakat. Untuk itu, Indonesia memiliki aturan hukum untuk melindungi aktivitas digital warga negara agar tidak disalahgunakan oleh pihak luar maupun dalam negeri. “Kedaulatan digital ini hanya bisa tercapai jika masyarakat paham bagaimana berperilaku di dunia digital dengan aman dan sesuai aturan. Kita juga terus mendorong masyarakat agar mengisi ruang digital dengan konten yang positif. Di sinilah peran literasi digital jadi sangat penting,” tuturnya.
Menurut Wijaya, infrastruktur digital seperti server, data center dan aplikasinya itu penting sebagai fondasi. Dalam konteks ini, Kementerian Komdigi menghadirkan aplikasi SAMAN (Sistem Kepatuhan Moderasi Konten), berfungsi untuk mengawasi dan menegakkan kepatuhan penyelenggara sistem elektronik privat atau PSE UGC (User Generated Content).
Melalui SAMAN, pemerintah memastikan bahwa platform digital bertindak sesuai aturan dan tidak membiarkan konten berbahaya seperti pornografi anak, judi online, pinjaman ilegal, hingga terorisme, beredar luas. “Namun demikian, kecanggihan infrastruktur tetap harus seiring dengan kesadaran masyarakat untuk menciptakan ruang digital yang aman dan sehat,” tegas Wijaya yang meraih gelar S2 di bidang Bisnis dan Ekonomi dari Monash University, Australia.
Memperkuat Identitas Budaya Nasional
Tantangan utama pemerintah adalah memastikan bahwa literasi digital tak hanya fokus pada penguasaan teknologi, tetapi juga mencakup nilai-nilai sosial dan budaya. Banyak program pelatihan yang menekankan cara pakai alat atau aplikasi, tapi belum cukup memberi ruang pada pendidikan etika digital, adab bermedia sosial, dan pemahaman konteks budaya Indonesia di dunia maya. “Padahal, keseimbangan ini penting agar masyarakat tidak hanya pintar dalam teknologi, tapi juga bijak dalam menggunakannya,” tegas Wijaya.
Kondisi geografis dan demografis Indonesia yang sangat beragam juga membuat penyebaran literasi digital tidak bisa satu pendekatan untuk semua. Pemerintah harus menyesuaikan pendekatan dengan karakter masyarakat setempat, memperhatikan ketersediaan infrastruktur, serta bekerja sama dengan tokoh lokal dan komunitas. “Jadi, tantangan besarnya adalah membangun ekosistem literasi digital yang inklusif, relevan, dan berkelanjutan di seluruh lapisan masyarakat,” imbuhnya.
Wijaya juga menekankan bahwa literasi digital bisa menjadi alat penting untuk memperkuat identitas budaya nasional, karena membantu masyarakat mengenali, menghargai, dan mempromosikan nilai-nilai budaya lokal di ruang digital. Dengan literasi yang baik, masyarakat jadi lebih sadar untuk tidak sekadar menjadi konsumen konten global, tetapi juga menjadi kreator konten yang membawa narasi kebangsaan. Misalnya, melalui media sosial, masyarakat bisa memperkenalkan bahasa daerah, tradisi lokal, hingga produk budaya ke audiens yang lebih luas.
Lebih dari itu, literasi digital juga mengajarkan masyarakat melalui anak-anak sekolah untuk kritis terhadap konten asing yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa. Ketika masyarakat paham cara menyaring informasi dan memiliki kesadaran budaya, mereka tidak mudah terpengaruh oleh tren global yang tidak sesuai dengan karakter Indonesia.
Menjaga Narasi Kebangsaan
Bagaimana pemerintah Indonesia melindungi warganya dari pengaruh negatif platform asing? Salah satu langkah konkret adalah diterbitkannya Undang-undang (UU) Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Undang-undang ini memastikan platform asing melakukan pengumpulan data masyarakat dengan cara yang sah dan transparan, serta memerlukan persetujuan dari yang bersangkutan. Jika tidak memenuhi ketentuan ini, izin operasionalnya akan dibekukan, bahkan dicabut.
Wijaya mencontohkan kasus World.ID yang melakukan pemindaian iris mata dan terhubung ke identitas digital, tanpa memperoleh perizinan yang berlaku, sehingga dibekukan status PSE nya. Selain itu, Kementerian Komdigi mendorong terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 atau yang dikenal sebagai PP TUNAS. Aturan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam memperkuat tata kelola sistem elektronik, terutama melindungi kelompok rentan yakni anak-anak dari pengaruh negatif media sosial, terutama dari platform asing.
Melalui PP ini, pemerintah juga melibatkan kementerian, lembaga, dan masyarakat dalam pengawasan serta edukasi digital. Langkah ini menunjukkan bahwa Komdigi tak hanya fokus pada aspek teknis, tetapi juga pada pelindungan nilai-nilai sosial dan kebangsaan. “Dengan regulasi ini, harapannya ruang digital di Indonesia bisa lebih terkendali, sehingga tidak mudah dimasuki oleh narasi asing yang berpotensi mengganggu persatuan, identitas nasional, maupun moral generasi muda,” ujarnya.
Saat ini, pemerintah telah menyiapkan arah strategis melalui Visi Indonesia Digital 2045, yang menjadi bagian integral dari kerangka besar Visi Indonesia Emas 2045. Visi ini menekankan pentingnya transformasi digital yang tak hanya berorientasi pada teknologi, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Kementerian Komdigi juga terus memperluas jangkauan program literasi digital hingga ke komunitas akar rumput, agar seluruh elemen masyarakat mampu bersikap kritis dan bijak di ruang digital, sekaligus menjaga identitas dan persatuan bangsa di tengah derasnya arus konten global.
Agen Penggerak Perubahan
Masyarakat sipil dan sektor pendidikan merupakan mitra strategis dalam membangun ekosistem digital yang mandiri dan berdaulat. Masyarakat sipil bisa menjadi agen penggerak perubahan di akar rumput, misalnya melalui kampanye, advokasi, serta pendampingan langsung kepada komunitas untuk memahami hak, tanggung jawab, serta risiko di ruang digital. “Dengan pelibatan komunitas, pesan literasi digital bisa lebih mudah diterima dan disesuaikan dengan konteks lokal, sehingga lebih efektif dalam menciptakan kesadaran kolektif,” tutur Wijaya.
Sementara itu, sektor pendidikan berperan membentuk fondasi jangka panjang melalui integrasi ke dalam kurikulum. Ini penting agar generasi muda tak hanya mahir teknologi, tetapi juga kritis, etis, dan bijak dalam menggunakannya. Sekolah dan perguruan tinggi juga bisa menjadi pusat pengembangan konten lokal yang relevan, serta mendorong riset terkait keamanan dan budaya digital.
Wijaya berharap, generasi muda Indonesia bisa menjadi generasi yang tangguh, adaptif, dan berakar kuat pada nilai-nilai kebangsaan. Di tengah derasnya arus globalisasi, anak muda harus mampu menyerap kemajuan teknologi dan informasi tanpa kehilangan identitas diri.
Kunci utamanya ada pada karakter berani, kreatif, kritis, namun tetap menghargai keberagaman dan budaya lokal. Ia berpesan agar generasi muda menjadi aktor, bukan hanya penonton dalam dinamika global. “Saya juga berharap mereka tak hanya aktif di ruang digital, tapi juga turut mengisi ruang tersebut dengan narasi positif tentang Indonesia. Generasi muda adalah jembatan masa depan, dan peran mereka sangat strategis dalam membangun citra bangsa,” pungkasnya.