Jakarta, Business Asia – Yayasan Perisai Cagar Budaya Nusantara (PBN) menyelenggarakan seminar dan pameran bertajuk “K3 Api Cagar Budaya” pada hari ini, Kamis (22/05) di Auditorium Museum Bank Indonesia (MUBI), Tamansari – Jakarta Barat.
PBN concern menyelenggarakan kegiatan seminar dan pameran K3 Api Cagar Budaya ini, karena kebakaran merupakan ancaman nyata bagi bangunan cagar budaya dan museum di Indonesia. Berbagai kasus kebakaran yang melanda bangunan cagar budaya dan museum di Indonesia, menjadi bukti, bahwa sistem proteksi kebakaran dan pencegahan kebakaran selama ini belum menyentuh cagar budaya.
Realitanya, kasus kebakaran yang menimpa museum dan cagar budaya di tanah air, begitu sering terjadi. Dua unit Rumah Gadang di Sumatera Barat, misalnya, ludes terbakar pada 31 Agustus 2016 dan 23 Februari 2020. Lalu Museum Bahari di Jakarta Utara terbakar hebat pada 16 Januari 2018. Teranyar, kebakaran melumat sebagian Gedung A Museum Nasional di Jakarta pada 16 September 2023.
Kala itu, sebanyak 902 koleksi Museum Nasional terdampak kebakaran. Sebanyak 231 di antaranya dari galeri keramik, 49 dari galeri peradaban, 92 dari galeri perunggu, 225 dari galeri prasejarah, 180 dari galeri terakota, dan 125 dari ruang kebudayaan Indonesia.
Salah satu koleksi yang rusak parah akibat kebakaran adalah nekara perunggu. Koleksi yang berasal dari kebudayaan Dongson (1000 SM – abad 1 SM) ini mengalami kerusakan klasifikasi tinggi.
“Kerugian yang dialami, tentu saja tak bisa diukur dan ditakar secara rupiah. Sebab nilai penting yang terkandung di dalam setiap koleksi cagar budaya tersebut, tak bisa ditakar dengan uang. Nekara perunggu, misalnya. Kebakaran tak lagi bisa mengembalikan bentuk utuh Nekara yang dibuat lebih dari 2.000 tahun lalu,” kata Hasanuddin, Ketua Yayasan Perisai Cagar Budaya Nusantara (PBN) dalam sambutannya pada acara Seminar dan Pameran “K3 Api Cagar Budaya” ini.
Dikatakannya, kebakaran bukanlah musibah. Sejatinya kebakaran bisa dihindari. Paling tidak kerugian yang dialami bisa diminimalisir.
“Bangunan cagar budaya, tidak sama dengan bangunan biasa. Ia memiliki nilai penting yang tidak bisa diukur dan ditakar dengan rupiah. Sekalinya musnah terbakar, maka lenyap pula segala nilai penting yang terkandung di dalamnya,” kata Hasanuddin.
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 400 museum. Jumlahnya akan ditambah menjadi 1.000, seiring program yang dicanangkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Sedangkan bangunan cagar budaya, jumlahnya ada ribuan di Indonesia. Di kota Jakarta saja, terdata lebih 300 bangunan cagar budaya.
“Upaya sosialisasi dan edukasi K3 Kebakaran sudah saatnya dilakukan secara masif dan terintegrasi serta lintas sektoral. Demi menyelamatkan segala nilai penting yang terkandung dalam setiap cagar budaya,” ujarnya.
Dalam upaya tersebut, PBN menyelenggarakan Seminar “K3 Api Cagar Budaya” dan menggandeng tiga kementerian. Yaitu Kementerian Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Seminar menghadirkan sejumlah pembicara yang kompeten di bidangnya masing-masing. Yaitu Prof Dr Ir Suprapto (Guru Besar ITB), Prof Dra Fatma Lestari (Guru Besar K3 FKM UI), Ir Kimron Manik, MSc (Direktur Keberlanjutan Konstruksi Kemen PU). Lalu, Dr Bayu Meghantara (Kadis Gulkarmat DKI Jakarta), Dr Kresno Yulianto (Museolog), Dr Junus Satrio Atmodjo (Arkeolog), dan Sugiarto Goenawan (Ahli Kimia).
Rentan Kebakaran
Guru Besar K3 FKM UI – Prof Dra Fatma Lestari, MSc, PhD mengatakan, bahwa situs cagar budaya menghadapi berbagai potensi bahaya kebakaran yang perlu diwaspadai.
“Instalasi listrik tua yang rentan mengalami korsleting menjadi salah satu sumber bahaya utama. Terutama pada bangunan-bangunan bersejarah yang belum mengalami pembaruan sistem kelistrikan. Aktivitas renovasi atau restorasi juga menimbulkan risiko tinggi, terutama saat melibatkan pengelasan atau penggunaan bahan kimia mudah terbakar,” jelas Prof. Fatma.
“Perilaku pengunjung yang tidak bertanggung jawab seperti merokok serta faktor alam seperti petir dan suhu tinggi, turut berkontribusi pada peningkatan risiko kebakaran,” lanjut Prof Fatma.
Kebakaran di Museum Nasional Indonesia pada 17 September tahun 2023 menjadi contoh nyata betapa rentannya cagar budaya terhadap ancaman api. Insiden ini mengakibatkan kerusakan pada sejumlah artefak berharga dan mengakibatkan kehilangan nilai sejarah yang tidak dapat dipulihkan.
Investigasi pasca-kebakaran mengungkapkan bahwa faktor pemicu utama adalah sistem kelistrikan yang sudah usang, ditambah dengan lemahnya sistem deteksi dini kebakaran.
“Kasus ini menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya sistem pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang memadai di situs-situs cagar budaya,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar ITB – Prof Suprapto mengatakan, bahwa museum menyimpan aneka potensi bahaya kebakaran. Antara lain koleksi yang terbuat dari bahan kertas, tekstil, kulit, kayu, dan bahan-bahan yang mudah terbakar lainnya.
Potensi bahaya lainnya terkait kondisi bangunan cagar budaya itu sendiri. “Bangunan cagar budaya dan museum umumnya merupakan struktur sudah tua dengan bahan-bahan mudah menyala di struktur penopangnya,” kata Guru Besar Fakultas Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Ia menekankan pentingnya penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Kebakaran (SMKK) pada setiap bangunan cagar budaya dan museum. Sistem itu sudah mencakup sistem proteksi kebakaran (pasif dan aktif), Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dan sebagainya.
Inovasi Baru
Pada kesempatan yang sama, Sugiarto Goenawan menjelaskan tentang peran penting teknologi kimia dalam upaya pelindungan dan penyelamatan cagar budaya. Termasuk bangunan cagar budaya dan museum.
Ia merasa prihatin dengan begitu banyaknya kasus kerusakan yang dialami bangunan cagar budaya di Indonesia. Baik karena faktor alam maupun ulah manusia, baik yang disengaja maupun tidak.
Karena itu, sejak beberapa tahun terakhir, ia berfokus pada upaya pelindungan dan penyelamatan bangunan cagar budaya di Indonesia.
Sebagai ahli kimia lulusan Jerman, ia dan timnya dari PT Uzin Utz Indonesia terus berinovasi melahirkan aneka produk cat dan plesteran. Tujuannya adalah menyelamatkan dan melindungi bangunan cagar budaya di Indonesia.
Terbaru, ia melakukan inovasi baru dengan menciptakan sebuah cat yang bisa memadamkan api dengan sendirinya. Cara kerjanya, cat akan mengembang dengan sendirinya ketika suhu mencapai 250 derajat Celcius. Ia menamakan temuannya dengan kode Uzin SC 35 untuk cat dan Uzin SC 36 untuk produk pelapis (coating).
“Ketika terjadi kebakaran, suhu akan meningkat drastis. Ketika mencapai 250 derajat Celcius, cat ini akan mengembang 50-100 kali lipat. Saat itulah, SC 35 akan mengeluarkan gas CO2 yang berfungsi menghambat perambatan dan pembesaran api,” kata Sugiarto Goenawan, Direktur PT Uzin Utz Indonesia. Sedangkan SC 36, akan melapisi berbagai material terutama kayu dan besi dari kobaran api.
Yayasan Perisai Cagar Budaya Nusantara (PBN)
Yayasan Perisai Cagar Budaya Nusantara (PBN) sendiri adalah organisasi yang berfokus pada upaya pelestarian dan pelindungan cagar budaya di Indonesia meliputi edukasi, sosialisasi, Bimbingan Teknis (Bimtek), konsultansi, dokumentasi, dan publikasi. PBN merupakan suatu wadah (berkekuatan hukum tetap) yang menghimpun sejumlah orang dari berbagai disiplin ilmu dan profesi berbeda, yakni arkeolog, arsitek, ahli pelestarian, pakar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan (K3L), praktisi, pengusaha, dan media yang memiliki tujuan dan visi yang sama.